Technology and Tips

10+1 Kiat Mengurangi Kebencian Tanpa Membenci Kebencian

1. Ingat: Selama kita membiarkan diri membenci, selama itu pula kita tidak bebas dari kebencian.

2. Karena itu, setan sekalipun jangan kita benci. Ah, tapi apa sih setan itu? Terlalu abstrak. Malah, setan kadang digambarkan sebagai cewek atau cowok sexy bertanduk berekor yang seram-seram merangsang. Jadi…

3. …Kejahatan sekalipun jangan kita benci. Hmm. Ini memang terdengar sulit. Mungkinkah kita tidak membenci pemerkosaan, penindasan, dll kekejian? Sebetulnya mungkin. Ini langkahnya:

4. Jangan berpikir secara dualisme. Jangan berpikir bahwa, kalau kita tidak membenci berarti kita menyukai. Atau, kalau kita tidak punya perasaan yang kuat (seperti membenci atau menyukai) berarti kita tidak peduli. Berpikir dalam dualisme artinya melihat hanya ada dua kemungkinan ekstrem dan tak ada pilihan lain. Dalam hampir semua perkara, ada spektrum dan lapisan lain. Misalnya:..

5. Kita boleh marah. Marah itu baik adanya. Ia adalah lapisan pertama; emosi dan penilaian spontan. Tapi kebencian adalah lapisan berikutnya. Bukan lagi cetusan rasa, kebencian adalah sikap mental yang cukup permanen. Jadi, marah bukanlah kebencian, sekalipun ia salah satu bahan dasar kebencian. Marahlah sesaat saja, lalu…

6. Jangan biarkan kemarahan itu mengkristal sebagai kebencian. Caranya?

7. Tarik nafas dalam-dalam… Selidiki apa dan kenapa tentang kemarahanmu, dengan dua pertanyaan penting:

a) Apakah rasa aman dan identitasmu terganggu? Misalnya, kamu marah dan benci pada LGBT atau PKI. Apakah LGBT (atau PKI) membuat kelelakianmu atau agamamu terancam? …Ah, contoh ini terlalu politis? Oke deh. Kamu marah pada pacar baru mantan pacarmu. Apakah dia meruntuhkan harga dirimu?

b) Atau apakah memang ada masalah ketidakadilan? Apakah PKI (atau LGBT) memang mendasari penindasan, penghisapan, pemerkosaan, pembunuhan, dan kekejaman lain? …Apakah pacar baru mantanmu adalah bukti ketidakadilan Tuhan sebab dari lahir ia lebih kaya, lebih keren, lebih pintar, lebih menarik, dst… Tentu kamu harus menjawab dengan jujur dan disertai bukti-bukti.

8. Jika pertanyaan 7a jawabannya ya, kamu harus introspeksi: kenapa kamu cepat merasa terancam? Jangan-jangan jiwamu lemah (insecurity atau rasa cepat terancam adalah ciri-ciri jiwa lemah dan minder).
Jika pertanyaan 7b jawabannya ya, maka ada alasan cukup kuat untuk “mengolah” kemarahan itu. Nah, pengolahan yang bagaimana?

9. Ingat, kemarahan yang tak diolah justru bisa mengkristal tanpa kita sadar sebagai kebencian. Tapi, kemarahan jelas memberi kita energi. Jadi, setelah mengakui dan menyelidiki kemarahan kita, gunakan energinya untuk hal yang positif dan konstruktif.

Misalnya, kita benci pada kaum ateis karena mereka mengkritik agama. Tapi, termasuk yang dikritik oleh kaum ateis adalah kesewenangan serta feodalisme kaum agamawan; dan kritik itu sah adanya. Nah, daripada kita membenci dan melarang orang ateis, lebih baik kita menunjukkan bahwa komunitas agama kita tidak membiarkan kesewenangan dan feodalisme.

…Kalau kita ditinggal mantan, buatlah diri kita lebih keren atau lebih bermakna buat orang lain.

10. Jangan gunakan energi marahmu untuk hal yang negatif dan destruktif. Setiap kali kita memilih yang negatif dan destruktif kita memberi makan pada kebencian. Seperti melawan sel-sel kanker, cara terbaik melawan kebencian adalah membiarkan bibit-bibitnya sirna sendiri karena tak dapat makanan.

+1. “Jangan membenci musuhmu.” Jika musuhmu adalah kebencian, jangan membencinya juga. Petuah etis-religius ini betul sekali, bahkan dalam aspek pragmatis. Tanpa harus menjadi orang beriman bermoral, kita bisa mengusahakan sikap ini demi kepraktisan dan keindahan hidup di dunia. Jika terlalu sulit untuk mencintai musuhmu, maka setidaknya selidikilah musuhmu dengan kepala dingin dan hati terbuka.

Selamat mencoba.

Source : Qureta.com (Ayu Utami)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button