Kenapa Ada Lagu yang Bisa Terngiang dalam Kepala? Ahli Menjawab
Semua orang pasti pernah mengalami momen ketika lagu terus terngiang-ngiang dalam kepala. Di dunia barat, fenomena ini disebut earworm. Namun, bagaimana earworm
bisa terjadi dan membuat suatu lagu nyangkut di kepala kita?
Dalam rangka peluncuran dua playlist baru di Spotify yang dipersonalisasi untuk setiap pengguna, yaitu On Repeat dan Repeat Rewind; Elizabeth Hellmuth Margulis selaku Direktur Music Cognition Lab di Princeton University menjelaskan lebih dalam mengenai fenomena ini kepada Kompas.com.
Lewat email yang diterima Kamis (21/11/2019), Margulis mengatakan, lagu cenderung menempel atau terngiang di kepala ketika kita baru-baru ini mendengarkannya berulang kali. Layanan music-streaming seperti Spotify mungkin membantu memfasilitasi pengalaman semacam ini dan menjadikan fenomena earworm lebih umum untuk dijumpai.
Dalam wawancara bersama Science Friday pada 2014, Margulis menjelaskan bahwa ketika kita mendengar suatu bunyi yang diulang-ulang, kita mulai mendengar lebih awal dari lagu yang sedang diputar dan mengantisipasi bunti apa yang akan terjadi berikutnya.
“Jadi kita hampir menyanyikannya di kepala sambil mendengarkan musik secara pasif. Jadi itulah yang disebut earworm, lagu yang membuatmu menyanyi di dalam pikiran,” imbuhnya lagi.
Inilah mengapa, earworm biasanya juga tidak satu lagu utuh, tetapi hanya sepotong segmen kurang dari 10 detik yang terus berulang-ulang di kepala.
Kepada Kompas.com, Margulis juga menambahkan, ada juga beberapa bukti bahwa lagu semakin terngiang di kepala ketika lagu tersebut menggabungkan tingkat keakraban dengan tingkat inovasi, dan ketika kita bergerak sambil mendengarkan lagu itu.
Contoh lagu yang sering dikategorikan sebagai earworm di antaranya “Call Me Maybe” oleh Carly Rae Jepsen dan “It’s a Small World After All” oleh Disney.
Para ahli menemukan hal-hal ini dengan sengaja memicu earworm di laboratorium untuk kemudian dipelajari, cerita Margulis.
“Salah satu metode yang umum dilakukan adalah dengan mengekspos orang ke lagu-lagu yang diketahui memicu earworm, kemudian memberi mereka sebuah tugas yang mudah sehingga tingkat konsentrasi mereka pun rendah,” kata dia.
“Earworm cenderung sering muncul dalam keadaan ini, dan memungkinkan para peneliti untuk mempelajarinya dengan menggunakan metode perilaku atau pencitraan otak,” lanjutnya.
Meski telah lama berkutat dengan earworm, Margulis rupanya jauh dari bosan. Dia berkata bahwa untuk langkah berikutnya, dia dan beberapa peneliti lainnya tertarik untuk mengetahui alasan musik begitu sering memicu earworm, sementara pidato atau jenis suara lain jarang memicu earworm.
Source : https://sains.kompas.com/