‘Bahaya’ di Balik Tag Location Instagram
Memberikan tag location di Instagram memang menyenangkan. Bisa menampilkan lokasi keindahannya, tapi ada bahaya di balik itu yakni bisa membahayakan keberlanjutan tempat wisata hingga ancaman overtourism.
Kebiasaan menggunakan media sosial dan menandai foto dengan lokasi dimana wisatawan berada dapat memacu overtourism terutama jika lokasi itu tidak siap dikunjungi banyak orang. Akan tetapi kebiasaan ini tentu tak mudah untuk dihentikan karena membagikan lokasi liburan ini terlanjur jadi budaya baru yang tak lengkap rasanya bila tak dilakukan.
Orang-orang yang peduli pada konservasi telah mencoba berbagai strategi untuk memerangi overtourism pada destinasi alam. Salah satu contohnya adalah dengan membuat kumpulan pedoman media sosial yang dikeluarkan Colorado Leave No Trace Center pada 2018.
Inti dari pedoman ini adalah arahan untuk ‘berpikir sebelum Anda menandai lokasi geografis (geotag)’. Geotag mewakili data lokasi yang ditambahkan ke foto, baik secara otomatis dalam metadata gambar atau melalui aplikasi media sosial. Geotag akan mempermudah orang melihat secara tepat di mana foto diambil dengan menempatkannya di peta.
“Hasil dari penyediaan lokasi yang tepat dapat mengarahkan orang ke tempat yang masih alami atau tempat yang karena berbagai alasan tidak bisa menampung satu ton orang baru,” kata Direktur Eksekutif dari Center for Outdoor Ethics.
“Berpikirlah sebelum kamu memutuskan untuk memberikan koordinat yang tepat,” tambahnya.
Selama dua tahun terakhir, advokat anti-geotagging, Watts telah melakukan berbagai kampanye yang menginspirasi pengguna media sosial untuk tidak mencantumkan lokasi ketika membagikan foto.
Selain itu, pada 2018 lalu Badan Perjalanan Pariwisata Lubang Jackson di Wyoming, Amerika Serikat juga meluncurkan kampanye dimana mereka meminta pengunjung untuk memberi geotag foto dengan tulisan ‘tag bertanggung jawab, jaga Lubang Jackson tetap liar’. Tetapi ada juga yang berpendapat tidak mencantumkan tag sama sekali juga akan membuat lokasi itu lebih eksklusif.
Lebih lanjut, Danielle Williams yang pernah menulis ‘5 Alasan Mengapa Kamu Harus Menjaga Geotagging’ menjelaskan bahwa orang harus lebih bijak ketika ingin memberi tahu lokasi suatu tempat melalui media sosial. Hal ini untuk menghindari kemungkinan orang yang tidak bertanggung jawab mendatangi destinasi yang seharusnya tetap terjaga keasriannya.
Williams juga menceritakan kalau dia seringkali menemukan komentar di media sosial kalau kondisi tempat yang dulu mereka kunjungi itu berbeda dengan sekarang karena terlalu banyak orang yang datang ke lokasi tersebut.
Sependapat dengan Williams, Elizabeth Carlson, seorang blogger asal Selandia Baru yang menulis untuk Young Adventuress juga menunjukkan kekhawatirannya pada geotag.
“Saya mencoba untuk menggambarkan potret destinasi secara akurat di manapun saya berada,” katanya.
“Saya jujur, baik ketika ada keramaian atau tidak (di destinasi itu),” tambahnya.
Carlson yang punya lebih dari 200 ribu pengikut di Instagram itu mengatakan, dia hanya melakukan geotag jika ia percaya destinasi itu memiliki kapasitas untuk berkembang dan bisa mengatasi lonjakan pengunjung.
Dia juga mengatakan kalau ia tidak akan menjelaskan suatu destinasi secara berlebihan.
“Saya mencoba untuk tidak menggambarkan tempat-tempat seperti, oh, ini adalah tempat yang indah, Anda harus datang, semacam itu,” ujarnya.
“Saya mencoba menggunakan pengaruh dan posisi saya untuk benar-benar menceritakan kisah lengkapnya,” lanjutnya.
Akan tetapi, kampanye untuk tidak melakukan geotag saja tidak cukup bila ingin melindungi sebuah destinasi dari overtourism. Williams telah merekomendasikan reformasi struktural di Amerika Serikat, seperti mendorong pemerintah melakukan promosi pada destinasi tertentu yang kurang ramai dibandingkan yang sudah ramai dan mendidik masyarakat untuk menjaga lingkungan.
Watts juga setuju bahwa pendidikan akan lebih efektif dalam melindungi lingkungan seperti berbagai pelatihan yang ditawarkan Leave No Trace.
Ia mencontohkan Roxborough State Park di Colorado yang berhasil mendidik para pengunjung untuk lebih peka pada lingkungan. Mereka mengajak pengunjung untuk tetap berada pada tempat yang memang dibuka untuk pengunjung dan membuang sampah pada tempat yang telah disediakan. Hal ini mereka cantumkan pada papan-papan di taman, brosur hingga peta di pusat informasi pengunjung.
Sekarang taman ini telah siap menghadapi lebih banyak kunjungan sembari mengajari mereka tentang konservasi dan pariwisata berkelanjutan. Pihak pengelola berharap dengan adanya pendidikan ini, setiap pengunjung yang membagikan momen mereka di media sosial juga bisa mengajak masyarakat atau calon pengunjung untuk lebih bertanggung jawab pada lingkungan.
Saat ini, kegiatan berwisata di Amerika Serikat didominasi oleh generasi milenial dan generasi Z. Menurut penelitian dari Expedia pada 2018, sebanyak 84 persen generasi Z dan 77 persen milenial datang ke suatu destinasi berdasarkan foto dari media sosial yang diunggah teman atau influencer. Maka dari itu penting bagi orang-orang untuk menginformasikan mengenai wisata yang bertanggung jawab, entah itu dengan tidak melakukan geotag atau memberikan pendidikan lewat postingan media sosial.
“Kita perlu menyadari bahwa media sosial dan influencer memainkan peran besar dalam hal itu (konservasi). Tujuannya adalah untuk memengaruhi generasi berikutnya dan mendorong orang untuk mengembangkan kecintaan mereka pada alam bebas,” tutupnya.
Source : https://travel.detik.com/