Uncategorized

Batik Shaho

Keberadaan SHAHO bermula dari keinginan Hariyati mengisi waktu luang. Sebagai ibu rumah tangga dari tiga anak yang sudah memasuki masa kuliah, ia merasa kurang produktif. Apalagi, Supratono suaminya, jarang di rumah karena lebih banyak menghabiskan waktu di lokasi kerja.

Pada 1991, Hariyati mengikuti pelatihan membatik pertama yang diadakan Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop). Mengaku tak suka menggambar, Hariyati memaksakan diri berlatih melukis dibawah pengawasan instruktur.

Batik menjadi pilihannya karena belum ada satupun perajin batik di Balikpapan. Padahal, kota ini memiliki pasar yang cukup besar. Pusat kerajinan dan barang cinderamata juga telah berdiri megah di Kebun Sayur.

Hariyati yang juga menjadi Ketua Penggerak Kesejahteraan Keluarga (PKK) tingkat rukun tetangga (RT) berharap suatu ketika keterampilannya juga berguna bagi lingkungan sekitar.

Selama hampir dua tahun menekuni kursus membatik, ia mulai berani menerapkan keahliannya. Pada saat bersamaan, Hariyati mulai mengumpulkan bahan-bahan pembuat batik. Cukup lama ia mendapatkan gawangan, canting, malam, mori dan lain sebagainya. Barang-barang itu hanya bisa diperoleh di Jawa. Setelah cukup lengkap, tahun 1994 Hariyati memutuskan mulai membuat pola, mencanting hingga menjadi sebuah kain batik.

Untuk selembar kain sepanjang 2 meter, Hariyati butuh waktu hingga 7 hari. Modifikasi motif Dayak dan pola akar bakau adalah produksi pertamanya. Tak disangka, motif buatannya banyak disukai. Inilah yang mendorong Hariyati serius terjun membuat batik dengan motif khas Balikpapan. Batik tulis ia pilih karena leluasa membuat pola dan corak. Batik motif buatannya juga belum ada di pasaran.

Keberhasilan Hariyati menjual batik pertamanya mendorong sang suami, Supratono, berhenti kerja dan konsentrasi mengembangkan usaha. Dengan bantuan suami, Hariyati mulai menerima pesanan dari berbagai pihak.

Namun belum setahun membuka usaha, cobaan besar menimpa Hariyati. Rumah yang menjadi tempat usaha sekaligus outlet penjualan mereka terbakar. Api nyaris menghanguskan seluruh bangunan yang terbuat dari kayu.

Tempat tinggal hampir musnah, bahan pembuat batik lenyap, bahkan kain milik pelanggan ludes terbakar. Kebakaran siang itu, terjadi ketika Hariyati mengerjakan order batik dari Tanah Grogot. Penyebabnya, seorang pekerja tertidur saat merebus kain. Kebakaran ini terjadi hanya dua hari menjelang keberangkatan Hariyati ke Manado mewakili Kalimantan Timur dalam kompetisi batik tingkat nasional.

Asal Nama Shaho

Selama bertahun-tahun, Hariyati tak memberi nama batik produksinya. Hingga suatu ketika Disperindagkop menanyakan nama usahanya. Hariyati memperoleh penghargaan sebagai pencetus batik motif Balikpapan dari Walikota Imdaad Hamid pada HUT kota ke – 111.

Saat itulah, Hariyati memberi merek batiknya sesuai huruf depan nama anggota keluarganya; Supratono, Hariyati, Ardi Rahayu, Hendri Astuti dan Oki Hendro. Nama yang sederhana, unik dan orisinal ini, belakangan dikenal sebagai merek batik Balikpapan yang populer.

Upaya menyebarkan minat membatik juga mendorong SHAHO membuka workshop mereka sebagai tempat pelatihan. Tak sedikit anak-anak prasekolah, turis, maupun keluarga ekspatriat mengikuti kursus membatik singkat.


Selain memproduksi batik, SHAHO juga terbuka bagi tempat belajar membatik. Dengan lokasi yang cukup luas, mampu menampung ratusan murid taman kanak-kanak, atau puluhan orang dewasa.

Ciri Khas Shaho

Sejak pertama membatik, SHAHO telah mengenalkan motif yang menggabungkan unsur tradisional dan modern. Salah satu ciri yang dipertahankan adalah motif ukiran khas Kalimantan.

Motif itu melengkung, spiral, lingkaran, dan totem atau patung dayak. Bentuk melengkung terinspirasi liukan akar atau ranting pohon.

Motif tersebut banyak dijumpai pada corak ukiran atau lukisan Dayak Kenyah dan Bahau. Motif lainnya yang baru dikembangkan ialah tumbuhan kantong semar yang cukup digemari.

Kekhasan lainnya, kain SHAHO diwarnai dengan bahan alam serbuk kayu ulin yang merupakan tumbuhan khas Kalimantan. Dengan bahan itu, kain menjadi cokelat dan tampak seperti kulit kayu.

Cara pembuatan batik tulis Shaho cukup rumit. Setidaknya ada sembilan tahapan yang harus dilalui, yakni; desain motif, klowong atau pelekatan lilin, pewarnaan pertama, pemberian cairan agar warna tidak luntur, melumuri kain dengan lilin biasa disebut nemboki, pewarnaan kedua, pelorodan atau menghilangkan lilin, dan terakhir pengemasan. Satu motif batik untuk satu kemeja, diperlukan waktu pengerjaan paling cepat satu minggu.

Berbeda dengan produsen batik lain, SHAHO juga terbuka bagi para pecinta batik untuk menciptakan motif sendiri. Kita dapat memesan batik sekaligus menggambar motif, memilih tema, hingga proses pencetakan. Prosesnya berlangsung tradisional, termasuk bagian finishing.

Batik SHAHO diperoleh ekslusif. Produk mereka tidak dijual bebas di butik atau pusat perbelanjaan seperti batik-batik lainnya. Batik SHAHO cuma bisa diperoleh di tempat pembuatannya atau pameran-pameran yang sedang diikuti. Sejak 20 tahun silam, SHAHO baru mengeluarkan 100 motif.

Akan tetapi, saat ini SHAHO mulai membuka diri dengan menerima pesanan batik printing dan batik lukis. Salah satu alasan merambah batik cap adalah mengenalkan motif Balikpapan ke masyarakat luas. Selain bahan pakaian, SHAHO juga memproduksi taplak, sprei, sarung bantal, bahkan sapu tangan.

BATIK SHAHO
Jl. Abdul Wahab Syahrani Gang LKMD RT 05 No.45
Batu Ampar, Balikpapan Utara
0542-413634

Source : Buku Ragam Batik Balikpapan Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kota Balikpapan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button
.