BANTAH TUDINGAN SOAL CETAKAN, MIRIP YUAN, SAMPAI LOGO PALU ARIT
Oleh : HARRY F. DARMAWAN/GoDiscover
BANK Indonesia sudah kerap melakukan upaya klarifikasi terkait informasi salah mengenai peredaran uang. Termasuk soal maraknya berita hoax dan isu yang beredar di media social mengenai uang Rupiah Tahun Emisi (T.E) 2016 baru-baru ini, salah satunya adalah isu di mana BI mencetak uang di PT. Pura Barutama di Kudus.
Asisten Direktur Departemen Pengelolaan Bank Indonesia Eggi Gilkar menegaskan, BI selalu mencetak uang di Peruri, bukan di tempat lain, termasuk di PT Pura Barutama.
Eggi yang menjadi narasumber di acara Pelatihan Wartawan Ekonomi Kaltim dan Kaltara 2017 di Hotel Crowne Plaza Bandung pada Kamis (9/2) menjelaskan, ada pengecualian BI mencetak uang di Australia pada uang Rupiah T.E 1999. Alasannya, uang yang dicetak saat itu adalah uang rupiah yang mirip plastik. “Dan uang jenis ini belum bisa dicetak di Indonesia,” paparnya.
Diakui, memang ada hubungan bisnis antara BI dan PT. Pura Barutama. Namun perusahaan tersebut hanya sebagai pemasok. “Ya, perusahaan mitra yang menjadi pemasok salah satu bahan dari 14 bahan yang dibutuhkan Bank Indonesia untuk mencetak uang,” terangnya.
SIKAPI BERBAGAI TUDUHAN
Selain isu di atas, BI juga menghadapi isu lainnya seperti adanya logo Palu Arit di uang Rupiah T.E 2016, pemilihan gambar pahlawan, desain rupiah yang disebut mirip Yuan mata uang China dan pencetakan dengan skema +1.
Dirinya kembali menegaskan, semua isu itu jelas tidak benar. Gambar yang disangka mirip palu arit adalah salah satu skema acak yang muncul tanpa kesengajaan karena berasal dari security features bernama rectoverso (gambar saling isi) pada Rupiah T.E 2016. Unsur pengaman tersebut dibuat berdasarkan teknik cetak khusus, di mana pada posisi yang sama dan saling membelakangi di bagian depan dan bagian belakang uang kertas, lambang BI dipotong secara diagonal dan baru terlihat apabila diterawang ke arah cahaya.
“Rectoverso ini ditujukan untuk mempersulit pemalsuan dengan teknik cetak yang memiliki akurasi yang sangat tinggi,” sambungnya.
Sedangkan desain Rupiah yang disebut mirip dengan Yuan, jenis warna itu terbatas, sementara semua negara di dunia juga mencetak uang dengan skema pemilihan warna Munsell (pecahan dengan angka depan sama menggunakan warna yang berbeda secara kontras) sehingga ada persepsi Rupiah mirip uang negara lain.
“Padahal menurut kami, Rupiah tidak mirip dengan Yuan, justru lebih mirip uang di negara-negara Eropa. Namun situasinya memang ada oknum yang menyuarakan banyak isu yang berhubungan dengan Tiongkok,” sebutnya.
Menyikapi berbagai isu tersebut, BI memilih dua opsi, yakni memahami tuduhan sebagai persepsi dan memahami tuduhan sebagai fitnah. Dijelaskan, apabila tuduhan sebagai persepsi, maka BI akan lebih menggencarkan sosialisasi. “Sedangkan tuduhan yang dianggap fitnah, maka BI akan melaporkan kepada kepolisian,” tegasnya.
UANG MAINAN BISA DIPIDANA
Jika selama ini banyak yang mengira bahwa uang mainan itu sah-sah saja, tidak benar demikian adanya. Uang mainan ternyata dilarang penggunaannya karena terdapat unsur pelecehan simbol-simbol negara dan sudah diatur oleh Undang-Undang.
Saat ini BI kembali menggencarkan sosialisasi larangan tersebut. Ia melanjutkan, kurang bijak jika ketidaktahuan anak-anak tentang larangan uang mainan itu lalu memicu tindakan progresif. “Untuk itu kita coba dengan menggencarkan sosialisasi, supaya anak-anak tahu kalau uang tiruan pun sebenarnya tidak boleh, karena sama saja melecehkan simbol-simbol negara,” sebutnya.
Soal uang mainan itu, sejauh ini BI baru mengambil langkah sosialisasi, belum sampai tahap penindakan. “Semakin mereka tahu kalau tidak boleh, semakin baik. Karena akan muncul kesadaran untuk tidak melakukan,” imbuhnya.
Sedangkan untuk uang palsu, jelas ada langkah hukum dan penindakan tegas, karena dampaknya tidak hanya dirasakan oleh individu (si korban), tapi juga negara secara luas.
“Naiknya inflasi akibat peredaran uang yang tidak terkontrol dan terpuruknya nilai tukar Rupiah akibat hilangnya kepercayaan terhadap Rupiah, itulah satu dari dampak buruk yang dirasakan,” tandasnya. (*)