Jelajah Rimba, Susuri Makam Tua
GODISCOVER.CO.ID – Yang terpikirkan dalam benak ketika berdiri di depan sebuah kuburan tua, pertama-tama adalah situasi mistisnya. Apalagi jika makam itu berada cukup jauh di dalam belantara seluas total 6.100 hektare — di Hutan Lindung Sungai Wain (HLSW).
Namun, kami memilih mengabaikan rasa ngeri itu. Susahnya jalan masuk ke hutan, sayang jika tidak dibarengi imajinasi menelusuri waktu kembali ke masa lalu.
Sebenarnya, kunjungan ke makam itu terjadi secara tidak sengaja. Kebetulan, pada suatu siang di bulan Mei, seorang wisatawan asal Solo, Jawa Tengah, datang, ketika Tim Discover sedang terlibat pertemuan dengan pengelola HLSW. “Saya dengar di dalam hutan ini ada makam tua. Bagaimana cara mengunjunginya?” tanya pria muda berpostur cukup tinggi itu.
Agusdin, pengelola HLSW yang sedang terlibat obrolan dengan Majalah Discover, menjawab. “Memang ada makam tua di dalam. Setelah ini, saya akan pandu Anda menemukannya,” sebut Agusdin.
Beberapa kali pernah menjelajah hutan HLSW, kami bahkan belum mendengar adanya makam di sana. Maka, siang itu, kami putuskan untuk ikut terlibat dalam penjelajahan. Selain ia adalah warga asli Sei Wein, Agusdin juga pemandu yang berpengalaman. Keberadaan pemandu amat penting, bukan hanya karena sebagian kawasan yang dilewati adalah area terlarang untuk umum karena keberadaan reservoir milik Pertamina, namun juga rasanya hampir mustahil susah menemukan makam itu tanpa bantuan “orang dalam”.
Satu waktu, pernah kami menjelajah bibir hutan di jarak yang terbilang amat dekat. Kami merasa itu jalur yang sangat aman untuk sekadar lewat. Faktanya, kami tersesat. Lalu, bagaimana nasib kami jika lebih jauh masuk ke dalam? Hutan ini masih cukup terjaga. Bahkan jika hujan deras, di bagian tertentu perlu menunggu beberapa menit agar tetesan air hujan sampai menyentuh kulit.
Karena lebatnya, titik-titik air hujan harus bersusah payah menembus dedaunan dan pohon, sebelum sampai di tubuh kita. Tentu kami tak ingin pengalaman tersesat itu terulang. Dan untuk alasan semacam itulah, keberadaan pemandu mutlak dibutuhkan.
“Kita akan masuk ke dalam sekira 3 kilometer dari Kantor Pusat Pengelolaan. Total pulang pergi jadi 6 kilometer. Dan perjalanan akan memakan waktu 2 jam,” papar Agusdin, sebelum kaki melangkah masuk area hutan. Ukuran 3 kilometer, sebenarnya masih masuk track skala sedang. Ada yang lebih jauh, 8 kilometer.
Jika tampak pintu gerbang HLSW di depan Kantor Pusat Informasi, itu hanya semacam “display” bagian depannya saja. Kami tidak masuk lewat situ, melainkan dari sisi bagian barat melewati kawasan milik Pertamina. Di depan pintu masuk hutan itulah, tampak warning untuk berhati-hati dengan binatang buas seperti ular dan buaya.
Sudah bisa dibayangkan, kita akan segera akrab dengan keadaan alam liar yang tak terduga. Beberapa track memang sudah ditata. Tapi hujan dan angin tak selalu bisa menjamin track itu tetap terjaga. Kadang kita harus menerobos ranting dan pohon yang patah, lalu membuka jalur baru di sebelahnya.
Menembus lumpur yang becek, sampai tercebur di jejak basah yang kami kira dangkal, namun ternyata cukup dalam.
Ya, ini masuk hutan, bukan masuk mal. Tidak ada lantai mengkilap di sini. Apalagi eskalator.
Kondisi HLSW sebagiannya merupakan rawa-rawa. Perlu persiapan matang, baik sepatu boots atau sekadar lotion untuk mencegah nyamuk hutan hinggap di kulit Anda. Waduk di area Reservoir Sei Wein milik Pertamina adalah pemandangan pertama ketika menyusuri makam tua.
Masuk ke dalam HLSW, apapun niatnya, otomatis akan mendapatkan pengalaman menikmati alam, aliran Sungai Wain yang total panjangnya mencapai 18.300 meter, hutan bakau, dan jika beruntung bisa melihat aneka binatang satwa baik kera, bekantan, tumbuhan dan burung-burung langka, ikan, dan satwa lainnya.
Kami sempat melihat kera bergelayutan, burung langka dengan bulu berwarna warni terbang rendah di atas air.
“Kaakk.. Kaak.. Kaak,” suara dari atas pepohonan di dalam hutan, seperti memanggil-manggil. Terdengar suaranya geraman serak. “Jika selama ini sering lihat foto Burung Enggang yang jadi ikon Kalimantan, nah, itu tadi suaranya,” ujar Agus, tersenyum. Itu jenis burung Enggang KangKareng Hitam.
Beberapa titik yang kami lewati, harus diakui, menantang nyali. Berjalan lurus pada awalnya, lalu naik turun gundukan untuk menghindari lebatnya ilalang. Menyebur ke sungai. Menyeberangi bagian lain sungai dengan hanya melewati sebatang pohon yang roboh sebagai jembatannya, nyaris tanpa pegangan. Ketika tiba di jalur sempit, ada yang mencoba menghindari tanah becek dan membuka jalur baru. Ketika menyibak tanaman, bagian tangan langsung tergores duri-duri dari semak rotan yang menjalar liar.
Setelah sungai terlewati, kami mulai menyisir jantung hutan. Suasana sunyi langsung terasa. Sepertinya, sudah beberapa minggu terakhir tak ada yang melewati daerah ini.
Pemandu kami menyebut, jejak sampah atau bahkan puntung rokok bisa mendeteksi berapa lama jalur ini baru dilewati orang.
“Ini dulu pernah jadi perkampungan warga. Namanya Perkampungan Salok Bugis,” kata Agusdin, setelah setengah jam lebih perjalanan.
Dia menunjuk bekas-bekas patok rumah yang berada tak jauh dari aliran sungai kecil yang membelah hutan. Nama kampung tersebut memang Salok Bugis, namun pada dasarnya yang mendominasi di desa itu adalah Warga Paser. Dapat dikatakan, penduduk aslinya adalah Suku Paser.
Fakta itu diketahui dari data warga yang direlokasi keluar oleh PT Pertamina pada 1974 dari dalam hutan ke Kampung Sungai Wain (perkampungan sekitar rumah pompa air Sungai Wain) adalah warga Suku Paser. Hanya beberapa kepala keluarga yang berasal dari Suku Jawa dan suku lainnya.
Para tetua Suku Paser yang pernah tinggal di Desa Salok Bugis menyebut, suku di luar perkawinan Suku Bugis Paser – Suku Toraja (termasuk suku Jawa), baru masuk kawasan itu pada 1960 an.
Meski mayoritas yang mendiami dan suku asli dalam hutan itu adalah Suku Paser, mengapa namanya Desa Salok Bugis?
Dikisahkan, itulah bentuk penghargaan warga Paser yang tinggal di hutan atas jasa Nelayan Bugis yang berhasil membawa para ulama (konon bangsawan kesultanan dari Timur Tengah) pada abad 18 dan 19 awal – dan kemudian menetap dan tinggal di kawasan hutan. “Alasan yang kuat adalah, mereka bersembunyi dari penjajah dan memilih tinggal di dalam hutan,” tambah Agus.
Untuk bisa sampai di sini, tahun 2015 ini, kami masuk ke dalam hutan dan merasakan perjalanan cukup melelahkan menyusuri rimba. Kami membayangkan, bagaimana mereka yang ada di dalam belantara ini, nun 100 tahun lebih yang lalu, bertahan di dalamnya.
Kesunyian dan keganasan hutan dipandang lebih bersahabat ketimbang berada di tengah situasi yang sangat kacau kala itu, oleh berbagai macam polemik yang menyeret Perang Asia Pasifik. Ketika itu transportasi masih sangat langka. Listrik bisa dipastikan belum ada, atau mustahil bisa sampai menjamah rumah-rumah mereka.
Kami jadi merasa kelewat manja. Era modernisasi yang serba mudah, seringkali luput menghargai orang-orang yang sangat susah melewati masa penjajahan atau ketika tanah nusantara masih disebut Hindia Belanda.
SAMPAI DI MAKAM TUA
Setengah jam kemudian, kami sampai di makam yang dicari itu. Ini seperti sebuah makam keluarga. Atau bisa jadi makam umum bagi kumpulan warga Salok Bugis yang disebut tadi. Jumlahnya hanya sekira 30-an patok.
Berada tak jauh dari aliran anak sungai yang menerobos hutan, patok-patok nisan dari kayu ulin itu sudah tergerus usia. Sebagian keropos dan hampir semua berlumut. “Besar kecilnya patok dan keberadaan corak atau simbol, menandakan status sosial orang yang dikubur,” sebut Agusdin.
Nisan ulin yang ukurannya tinggi besar, menandakan ia adalah tokoh masyarakat di kampungnya. Bentuk pipih disebut untuk perempuan. Bentuk yang tampak lonjong menandakan makam laki-laki. Ada juga patok dengan ukuran sedang dengan motif ukiran tertentu. “Itu adalah makam perempuan yang masih gadis,” ucap Agusdin.
Beberapa kesamaannya, pada patok terukir tulisan beraksara Islam Melayu. Bukan bahasa Indonesia. Warga sekitar Desa Sei Wein tentu sudah banyak yang tahu keberadaan makam ini. “Dulu, cukup sering orang datang kemari. Ketika sedang marak judi kode buntut,” timpal Agusdin. Memang benar adanya. Beberapa bekas barang-barang seperti dupa dan kendi yang lazim dipakai untuk pesugihan, masih bisa ditemukan di sekitar area makam.
Makam ini juga pernah dibongkar. “Tapi kami terlambat. Baru dua hari kemudian mendapat kabar makam dibongkar. Pelakunya tidak berhasil ditemukan, hanya bekas-bekas perbekalan yang ditimbun,” cerita Agusdin.
Beberapa tahun lalu, memang sekelompok orang berniat menjarah makam ini. Ada satu dua bagian makam digali sampai dasarnya. “Mereka mungkin mengira di dalamnya ada harta benda berharga,” ucap Agus.
Tamu kami, Mas Eko, yang punya hajat pertama kali dan menanyakan keberadaan makam itu, tampak sedikit kelelahan. Namun ia terlihat puas. Setelah beristirahat sejenak, beberapa saat kemudian ia membersihkan area makam, lalu khusuk berdoa dan kemudian membaca kitab bacaan. Mungkin Al-Quran. “Saya berkirim doa pada almarhum, semoga mendapat amalan yang baik,” ujarnya tersenyum.
Makam tertua yang teridentifikasi di area ini tertulis tahun 1928. Sekitar 3 meter dari situ, satu patok lainnya tertulis wafat 1351 Hijriah, atau dalam tahun masehi terhitung 1930. Melihat tahun makam tertua, rupanya tokoh yang (lahjah namanya tidak berhasil kami baca) tertua wafat tepat setahun setelah Pelabuhan Balikpapan masuk dalam sampul depan Media Pandji Poestaka edisi 10 Mei 1927. Pandji Poestaka adalah majalah yang terbit mingguan terbitan Balai Poestaka.
Cukup susah menyisik ke belakang latar sejarah pihak yang wafat di tahun 1920 an. Bahkan tak banyak catatan sejarah tentang Balikpapan dekade 1930-an. Hanya, dari peta BPM terbitan 1939, sudah ada gambaran tata kota Balikpapan.
Peta itu memberi dokumentasi penting tentang Balikpapan di masa itu. Seperti misalnya, pada 1939, Balikpapan juga memiliki perkampungan China.
Saat ini tidak ada lagi sisanya. Tak juga diketahui kapan perkampungan Cina itu menghilang. Namun bekas lahannya kini menjadi lahan Markas KODAM VI/Tanjung Pura/Mulawarman di Jl Jenderal Sudirman.
Dibanding keberadaan makam lain di Balikpapan, usia 1928 bisa dibilang relatif tua. Beberapa makam lain, sebutlah Makam Pulau Tukung (Alm Syarifah Maryam), adalah salah satu makam tua terkenal di Balikpapan. Menurut sejarahnya, makam itu dulu berada di tengah laut, namun dipindah ke daratan karena pembangunan pelabuhan.
Lalu, Makam Tua di kawasan Gunung Komendur milik Adji Kemala, gelar Adji Pangeran Kerta Intan bin Adji Muhammad Sulaiman, anak dari Sultan Adji Muhammad Sulaiman dari Kerajaan Kutai yang berdiam di Balikpapan. Juga, keberadaan makam Jepang yang kini dilindungi sebagai agar budaya. Beberapa sumber menyebut makam itu ada di tahun 1930 an, dan tahun 1940 an. Masih lebih tua makam di dalam hutan.
Namun, dibandingkan dengan makam tua di beberapa daerah nusantara atau dunia, usia 1928 bisa dibilang “baru kemarin sore”.
Beberapa daerah memiliki memiliki kisah peradabannya sendiri-sendiri yang bisa saja tidak semua berhasil digali. Di Bengkulu misalnya, cagar budaya nisan tertua berasal dari tahun 1775, itu pun milik warga Inggris, di sebuah Kompleks Pemakaman Inggris di Bengkulu atas nama Stokeham Donston Esquire, dan yang termuda tahun 1858, bernama Miss Frances Maclane.
Sama nasibnya. Banyak prasasti makam yang dicuri. Sebagian rusak karena alam dan ulah manusia, sebagian lain hilang tercampakkan. Makam yang hanya dijarah masih “beruntung”. Yang lebih malang adalah: tergusur dan amblas, hilang tanpa bekas.
Namun, makam dalam hutan itu juga ditemukan nisan dengan umur yang relatif muda, yakni, tahun 1961. “Artinya, komunitas warga di sini melewati beberapa kali masa penjajahan, dari era Belanda, Jepang, bahkan sampai era PKI,” timpal Agus.
Bisa jadi, alasan menghindari perang adalah alasan yang kuat mengapa warga di sana keukeuh bertahan di dalam hutan. Lewat era belanda, era Jepang datang. Jepang memang baru mendarat di Balikpapan pada 1942, ketika Pasukan Sekutu, termasuk pasukan KNIL Belanda, berhasil dikalahkan.
Tentara Jepang dan Armada lautnya berhasil menguasai Balikpapan pada 24 Januari 1942. Hari itu, adalah hari di mana Jepang sudah mulai mengkonsolidasikan kekuasaannya atas Kota Balikpapan.
Kejamnya Jepang kita ketahui bersama. Tak ada sistem kelas dalam kewarganegaraan, kecuali masyarakat akan dijadikan pendukung fasis Jepang dalam perang Pasifik untuk membangun Asia Timur Raya — Asia untuk Asia di bawah Jepang.
Jepang berlaku kejam. Menggempur dengan dahsyat, cepat dan sistematis, juga dikenal brutal. Ini bukan pertempuran yang mudah. Jauh sebelumnya, balatentara Jepang sudah banyak yang menyamar sebagai orang sipil untuk menjadi mata-mata, menyamar sebagai pedagang, dan memberikan data intelejen sebelum pasukan besar Dai Nippon menyerbu kota ini.
Pada 20 Juni 1942, ketika Jepang mulai berkuasa, suara gemuruh bom dan peluru senapan mesin tak lagi terdengar di Balikpapan, diganti suara palu dan motor. Jepang mencari sebanyak mungkin penduduk pribumi untuk mengerjakan infrastruktur perang dan kepentingan serdadu Nippon. Sekilas sejarah itu menggambarkan, menjadi beralasan warga di dalam hutan itu bersembunyi hingga tahun 1970-an.
Apakah masih ditemukan makam atau cagar budaya lain yang lebih tua? Ditilik dari sejarahnya, Balikpapan belum masuk kategori kota tua. Jauh kalah tua dengan ratusan kota lainnya. Setidaknya, dipandang dari sisa-sisa bangunan cagar budaya.
Namun perlu diingat, inilah dampak keganasan Perang Pasifik itu. Balikpapan tak banyak menyisakan bangunan tua, tak lain karena terjadi pemboman besar-besaran oleh sekutu selama 20 hari pada 1945. Kota ini rata dengan tanah.
Pemboman itu memang sanggup melumpuhkan Jepang, namun berdampak sangat pahit bagi Balikpapan. Kota ini, seperti nasib dua kota di Jepang yang hangus dibombardir Amerika — Hiroshima dan Nagasaki, harus membangun dan memulai semuanya dari awal lagi.[*]
ENGLISH TRANSLATION
TRACING THE TRAILS OF AN OLD GRAVEYARD
We thought that getting into an old graveyard in 6100-hectare HLSW wood was very creepy.
Though, we were not afraid of that. The more you get inside the woods, the more you feel happy while imagining the time in the past.
In fact, the journey was unplanned. The idea popped out when seeing a tourist from Solo, Central Java. “I heard that there is an old graveyard in this wood, how can we get there?” he asked.
Agusdin, one of HLSW field member, said, “well, yes there is an old graveyard. I’ll take you there as soon as I finished my business here,” He said.
Therefore, after hearing that conversation, we decided that afternoon, that we will be involved in the journey.
Agusdin is a local villager of Sei Wain, as well as experienced guide. It is necessary to have a guide here because we are forbidden to reach Pertamina facilities. And it is impossible to reach the destination without someone to lead.
We were lost in HLSW woods, since we didn’t use travel guide. We were lost in it, we got struck by cat-and-dog rain. Therefore, we don’t want such experience of a tour guide to be unnecessary.
“We will go deep as far as 3 kms into the woods. It will take at least two hours,” Agustin explained. It is a middle size track.
In front of western entrance, we were prepared to notice some wild animals such as snakes and crocodiles. We were going to be very close to nature. Even though there are some tracks, sometimes we just needed to break through broken tree branches, and opened up new tracks next to it. Getting through deep and shallow muddy lands were something to remember about.
HLSW consist of a lot of swamps, so it is necessary to bring your boots, and lotion to keep mosquitos away from your skins.
As we reached deeper into HLSW, we saw the Pertamina reservoir area. Alongside it, we could see the water flow into 18300-meter Wain River, mangroves, bekantan, apes, fish and some rare birds.
As we passed the river, we started tracing the heart of the woods. There were very silent. Agusdin said that he could tell how long had it been the last time people cross this place. He could tell it from the traces of garbages and cigarette butts left.
There were villagers here, named Perkampungan Salok Bugis. Agusdin showed the traces of house pegs nearby the small river bank. It is foretold that the villagers were mostly Bugis-Malay. They lived there since 1900s to hide from the ruling imperialist.
Compared to their life, which the silence in the woods was much better than being held in Asia-Pasific Wars. There were no transportation modes as well as electricity.
We realized that our struggle is not as much as they did. Therefore, we should respect those who lived their life throughout colonialization.
REACHING THE OLD GRAVEYARD
Half an hour from the village, we reached the graveyard. It was a either a family graveyard or community graveyard of Salok Bugis villagers. There were 30 old pegs.
The size of the pegs, the craft made into the pegs resemble the social status of the deceased one, Agus explained.
The gravestone made of large ulin woods resembled that he was a public figure in the society. The flat resembled woman, while the oval resembled man. There were also a unique gravestone, which turned out to be the graveyard of a girl.
There were a lot of similarity among the gravestones, they were crafted in Malay-Islam writings.
The villagers of Sei Wein Village had known this graveyard for a long time ago. There were the times when many people came there. It turned out to be people who wish for wins in gambling games. It was seen by many incenses and jugs. People recognize it as the materials for black magic.
There was a pity when Agusdin remembered that there were a grave being torn apart and they could not figure out who did that. There were only food leftovers that cannot give them any clue.
He said that some people tore the grave apart for assuming that there were treasures in it.
The oldest grave ever identified was written in 1928. There was also a gravestone written 1351 H or 1930 M. after identifying the oldest grave, a grave of a public figure, that he died just one year after Balikpapan Port was published in the front cover of Pandji Poestaka, on May 20th, 1927.
When we talk about the history records in 1930s, there is not much we can see. Nevertheless, in BPM map in 1939, there was a picture of Balikpapan’s city plan. The map showed us important facts, such as, that in 1939 Balikpapan had a Chinese village. Nowadays, the area became KODAM VI/Tanjung Pura base.
Compared to other graves in Balikpapan, the year 1928 is very old. For example, Pulau Tukung Grave (Alm Syarifah Maryam) famous old grave in Balikpapan. It was told that the grave was in the middle of the sea but was relocated to the land when the construction of the port was started.
Then, we take an example of old grave in Gunung Komendur (which belong to Adji Kemala). Its existence is known as the culture heritage. Some people said the grave was there 1930-1940.
Comparing the year 1928 to other grave makes it really old. Some places has their own civilization stories. For example, in Bengkulu, the oldest gravestone heritage was noted at year 1775. The grave belongs to an England named Stokeham Donston Esquire. The grave is in English Burial Complex. The youngest grave in it belongs to Miss Frances Maclane, dated in year 1858.
Graves in English Burial Complex has similar condition. Some were robbed, some were damaged due to nature, some were damaged by man, and even some were lost.
Though, in this HLSW graveyard, we found one grave dated in year 1961. It implies that the villagers survived the Dutch colonialization era, Japanese colonialization era, even PKI era.
They forced themselves to stay in the woods as Japan landed in Balikpapan in 1942 when the alliance forces were beaten. One day after arrival, they took Balikpapan down. When some people rescued themselves in the woods, Japan started to consolidate their power over Balikpapan.
We knew how ruthless Japan can be. There was no class in civic system but to make the people to support Japanese fascism to build The Great Eastern Asia from Pasific war. Japan was ruthless. They crushed faster, and more systematically as well as brutal. Moreover, many Japanese went undercover as civilians or merchant to gather intelligence data before hitting Balikpapan.
On June 20th 1942, when Japan ruled Indonesia, the sounds of bombs and machine guns were replaced by hammers and engines. Japan searched as many people as ever to work on war infrastructure for Japan. It was the history that drove villagers to hide in 1970s.
Are there any other old graveyards or cultural heritage? Since Balikpapan is not an old city yet. It means that there are not many cultural heritage to be found. Different to other older cities in Indonesia, Balikpapan is still much younger.
But we need to remember the impact of Pasific War. Balikpapan could not save old buildings due to massive bombing for 20 days in 1945. The town was down. It punished Japan but obliterate Balikpapan. Then, Balikpapan needed to build and start over.
Source : Majalah DISCOVER BALIKPAPAN Edisi ke 44 Juli 2015