Lifestyle

Kenapa Orang Suka Makanan Pedas

Anda tentu punya teman penyuka makanan pedas. Hampir semua makanan mereka bubuhkan lada, tambahkan sambal, menggigit cabai rawit pun jadi.

Apa sebenarnya yang membuat seseorang senantiasa mencari sensasi pedas, sementara ada sebagian lain yang sama sekali tak suka pedas? Bagaimana pula seseorang yang tak suka pedas kemudian jadi ikut menggemari santapan yang membuat keringat mengucur?

Makanan pedas terasa panas di mulut karena molekul kimia seperti kapsaisin–senyawa kimia yang memberi karakteristik panas membara pada makanan pedas–merangsang reseptor rasa sakit di lidah Anda yang berhubungan dengan sensasi suhu, bukan karena membakar indra perasa di lidah Anda.

Jika seseorang suka pedas karena sensasi yang ditimbulkannya, apakah mereka terlahir suka pedas? Tidak menurut Paul Rozin, profesor emeritus psikologi di University of Pennsylvania.

Kecintaan akan rasa pedas tidak bersifat genetik. Seseorang harus belajar menyukainya terlebih dahulu. Caranya tentu dengan paparan berulang terhadap cabai, lebih spesifik lagi, capsaicin.

Ketika seseorang mencoba makanan pedas, reseptor di mulut bereaksi, mengelabui otak sehingga Anda berpikir mulut terbakar. Uniknya, tubuh akan merespons reaksi tersebut dengan produksi endorfin–hormon yang memicu perasaan senang–untuk meredam sinyal “sakit” yang sedang Anda alami.

Menariknya, reseptor dan indra perasa penyuka pedas tak lantas mati rasa saking seringnya makan pedas, malah menurut Rozin, tak ada bedanya dengan mereka yang tak suka pedas.

“Penyuka pedas bukannya tak sensitif terhadap iritasi yang disebabkan dari konsumsi makanan pedas. Hanya saja mereka lebih terbiasa dengan sensasi tersebut,” jelas Rozin.

Ini menjelaskan mengapa orang-orang berkebangsaan tertentu seperti India, Meksiko, atau orang Padang di Indonesia seolah punya toleransi yang lebih tinggi terhadap rasa pedas. Ya, sebab mereka sudah makan pedas sejak lama, bahkan mungkin sejak kecil.

Orang-orang yang gemar makanan pedas memiliki asosiasi yang lebih kuat antara kesakitan dengan kenikmatan. Rozin pun berargumen bahwa orang yang gemar makanan pedas menunjukkan korelasi dengan hobi mereka naik rollercoaster dan aktivitas lain yang membuat jantung berdegup kencang.

Ini mengindikasikan bahwa penyuka pedas memiliki sifat senang akan sensasi dan mau mencoba berbagai hal seru. Sebaliknya, mereka yang berkepribadian lebih kalem cenderung menemukan lebih sedikit kesenangan dari hal-hal mendebarkan serupa.

Menilik sisi psikologis, John Hayes, professor ilmu makanan di Pennsylvania State University pada 2015, mempublikasikan riset tentang ciri-ciri kepribadian yang mencirikan pencinta makanan pedas.

Hayes menemukan bahwa laki-laki mengaku lebih suka makanan pedas ketimbang perempuan. Namun, perempuan sebenarnya menikmati sensasi kapsasisin daripada laki-laki.

Perbedaan aneh ini, menurut Hayes, berakar pada kenyataan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki alasan yang berbeda saat mengonsumsi makanan pedas. Jika perempuan biasanya ingin mencari sensasi baru, pria makan pedas agar kelihatan lebih jantan.

Hayes mencontohkan sekelompok pria yang makan di luar dan pesan sayap ayam ekstra pedas. Itu bukan karena mereka suka. “Ini soal social reward yang didapatkan saat melakukan sesuatu yang nyata-nyata kelihatan jantan,” pungkas Hayes.

Suka pedas atau tidak, riset membuktikan bahwa makan pedas juga ada manfaatnya.

Sebuah studi pada 2015 yang dipublikasikan dalam BMJ mengindikasikan bahwa dalam periode tujuh tahun, mereka yang makan makanan pedas sekali dalam sepekan mengurangi tingkat kemungkinan meninggal sebanyak 10 persen daripada mereka yang tidak makan pedas. Periset menduga, ini berhubungan dengan kesehatan jantung.

Sebelumnya, periset juga menemukan bahwa hal terbaik untuk menenangkan peradangan pada usus dan perut adalah cabai dan marijuana. Dua bahan yang kerap ada pada masakan Aceh.

Selain itu, kala cuaca sedang panas-panasnya makan makanan pedas atau panas malah dapat membantu Anda merasa lebih sejuk dengan mendorong tubuh untuk mengeluarkan keringat.

Pun demikian, perlu diingat bahwa riset-riset ini kerap kali didasarkan pada korelasi dari data survei, bukan analisis sebab akibat dari laboratorium.

Source : Beritagar.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button
.