Lifestyle

Ketika Oksigen Sudah Tak Menarik Lagi

Entah berapa banyak studi mengenai bahayanya merokok bagi kesehatan yang sudah dilakukan. Akan tetapi fakta bahwa cukup sering dijumpai mereka yang tak lama setelah menguras tenaga di pusat-pusat kebugaran malah merokok setelahnya rasanya cukup menjelaskan bahwa studi semacam itu kerap diacuhkan kalau tak boleh dibilang tidak berguna.

Belum lagi menghadapi kemunculan komunitas-komunitas atau ormas yang berlingdung di ketiak para petani tembakau setiap tanggal 31 Mei dimana dunia memperingatinnya sebagai Hari Tanpa Tembakau. Maka dari itu tidak berlebihan rasanya jika membahas mengenai “merokok” bukan lagi sekadar baik-buruk atau sehat-tidak sehat, melainkan harus lebih dari itu.

Jangan pernah melarang seseorang merokok hanya dengan menyodorkan argumen dari aspek kesehatan saja. Mereka sudah punya berbagai diktum untuk mendebatnya karena merokok sudah bisa dikatakan sebagai sebuah subkultur dimana sukar tidak melakukannya jika sudah di dalamnya. Maka benar anggapan bahwa sebaiknya melarang orang merokok sebelum mereka merokok untuk yang pertama kalinya.

Tak semua perokok di Indonesia adalah laki-laki. Banyak perempuan yang juga merokok dengan alasannya masing-masing. Namun layaknya sepakbola, laki-laki adalah mayoritas. Stereotip di negara ini mengenai sepakbola dan merokok sama: jika Anda laki-laki maka harus suka sepakbola dan juga merokok. Memang stereotip itu tak berlaku di semua lingkungan, namun tetap harus diakui bahwa ihwal tersebut sudah jamak di banyak sudut.

Surat kabar Inggris, The Guardian, baru-baru ini juga mengangkat soal hasil studi yang mengatakan bahwa adanya korelasi antara lama seseorang menganggur (tidak punya pekerjaan) dengan aktifitas menghisap asap tersebut. Singkatnya, mereka yang tidak merokok lebih cepat dapat pekerjaan ketimbang mereka yang merokok. Selain itu keterbatasan finansial karena tak bekerja juga tak berbanding lurus dengan berkurangnya intensitas merokok mereka.

Dari berbagai asumsi dan fakta di atas bisa disimpulkan bahwa mereka yang merokok jelas tak begitu peduli dengan dampak kesehatan bahkan finansial dari aktifitas merokok tersebut. Merokok tak ubahnya obat bagi para perokok di sela-sela aktifitas keseharian.

Rokok juga diposisikan layaknya makanan penutup setelah makan atau teman saat waktu senggang seperti komik bagi siswa sekolah dasar. Mungkin terlihat aneh bagi non-perokok, tapi yakinlah mereka (perokok) akan mengernyitkan dahi saat tau Anda tak merokok.

Jika merokok bisa disebut sebagai subkultur baru maka bisa pula mensejajarkan rokok dengan buku, film, musik, dan olahraga dalam taraf-taraf tertentu. Namun karena rokok tak ada genre atau jenisnya layaknya buku maupun film maka lebih tepat mengganti kosakata rokok dalam pemahaman ini dengan kata “gas C0”. Gas C0 atau karbon monoksida adalah salah satu zat paling dominan dalam sebatang rokok.

Masyarakat Asia atau negara manapun yang gemar sekali dengan sepakbola seperti Indonesia kebanyakan akan mencibir mereka dari Amerika Serikat yang tak suka sepakbola. Sebagai informasi sepakbola adalah olahraga favorit keenam masyarakat Amerika.

Kita orang Indonesia yang mayoritas suka sepakbola pasti tak mengerti mengapa orang Amerika lebih suka olahraga pakai tangan seperti American Football, basket, maupun baseball ketimbang menendang bola. Tapi jika memakai perspektif orang Amerika, mereka juga tak mengerti mengapa bola harus ditendang-tendang.

Uraian perihal sepakbola tersebut bisa diparafrasakan dalam kasus rokok seperti yang disampaikan sebelumnya. Bagi kita yang tak merokok menganggap apa gunanya merokok. Namun bagi mereka yang merokok pasti juga tak mengerti mengapa kita tak merokok.

Artinya, semua kembali pada masalah selera dan preferensi masing-masing meski dari aspek medis jelas tak bisa dibantah bahwa merokok sama sekali tak menyehatkan. Akan tetapi seperti pada paragraf awal tadi bahwa aspek kesehatan tak ada dalam daftar preferensi mereka para perokok.

Mereka yang lebih memilih bergaul dengan karbon monoksida disaat oksigen masih lebih enak dihirup hanyalah orang yang punya selera berbeda, itu saja. Sama seperti jangan memaksakan mereka yang kesehariannya suka baca buku-bukunya Raditya Dika untuk membaca buku-bukunya Milan Kundera yang lebih berisi.

Tak bisa dan tak perlu dipaksakan. Dulu banyak pendengar musik menilai musik Justin Bieber di awal kemunculannya tak ada bagusnya sama sekali. Namun kini saat lebih dewasa dan saat punya teman-teman keren seperti Skrillex dan Ed Sheeran musiknya dianggap jauh lebih baik.

Mungkin perlu waktu dan sesuatu bagi mereka yang merokok untuk sadar bahwa oksigen masih jauh lebih enak ketimbang menghirup lainnya. Merokok tak salah asal jangan terlalu lama seperti jangan terus-terusan baca novel cinta remaja saat buku-buku George Orwell maupun Vladimir Nabokov sudah menanti sekian lama untuk dibaca.

Source : Qureta | Atfan Hidayat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button
.