Lifestyle

Kritis dan Objektif Menyikapi Serbuan Informasi

Sebagai tulisan pertama saya di tahun 2017 ini saya merasa tergerak untuk membuat satu lagi tulisan Humaniora yang diangkat dari sebuah peristiwa yang sedang ramai dan aktual (yaaah kalaupun ga terlalu update setidaknya di sini coba dijelaskan konteksnya selengkap mungkin agar tidak terjadi kerancuan) dan salah satu permasalahan yang sedang mengemuka adalah ramainya Pemberitaan Palsu atau Hoax. Di sini saya tidak ingin memisahkan fakta maupun opini dalam mengenali mana berita valid mana hoax. Di sini saya akan menceritakan kepada Anda tentang bagaimana pentingnya memiliki sifat kritis dan juga berfikir objektif di saat kita dibombardir dengan banyaknya informasi yang merupakan konsekuensi dari era kemajuan teknologi seperti saat ini.

Mungkin diantara kalian yang membaca tulisan saya merasa bahwa beberapa tulisan saya berbau politis, maka pertama-tama saya harap maklum dari Anda semua, memang saya mengambil contohnya mengambil isu politik yang sedang ramai diperbincangkan tetapi sebenarnya misi dari tulisan ini adalah sederhana yaitu mengambil nilai kemanusiaan dari intrik-intrik politik yang dikatakan kotor dan sangat sedikit mengandung nilai humanis. Seorang Dosen saya yaitu Bapak Argo Galih pernah berkata:

“Kenapa banyak orang yang kita kenal jujur ketika nantinya masuk ke politik justru menjadi tersangka kasus korupsi? Karena masalahnya, politik itu terlalu penuh dengan intrik politik kotor; sehingga kita tidak bisa melihatnya hanya dengan hati nurani bersih.”

Mungkin itu juga yang membuat kita sulit mencerna intrik-intrik politik dengan kacamata orang awam. Nah maka itu saya ingin mengambil nilai Humaniora dari lingkungan yang kotor bagai mengambil berlian di dalam batu berlumut. Memang sulit tetapi bukan tidak mungkin nilai yang bisa diambil adalah sebuah nilai yang berharga.

Sikap Kritis

Di tengah era kemudahan akses terhadap informasi seperti ini memang sulit untuk membedakan mana informasi yang valid dan tidak valid. Agar tidak terjerumus dalam kesalahpahaman yang dibutuhkan adalah sikap kritis terhadap berita tersebut. Untuk sebuah contoh mari kita ambil satu sampel berita aneh yang sempat saya jumpai. Di contoh ini, sebenarnya berita ini tidak bisa murni dibilang Hoax, tetapi yang terjadi adalah membelokan persepsi dari pembaca karena pengutipan dengan merubah isi dari berita tersebut. Agak bingung yah sama bahasa saya? Hehehe yaudah begini, yah satu contoh berita tersebut.

Di bagian kepala berita tersebut tertulis judul yang cukup tendensius, yaitu: “Anak Ahok: Tak Ada Guna Tinggal Di Negara Ini Kalau Bapak Dihukum”, lengkap dengan foto anak Ahok Nicholas Sean Purnama yang mudah didapatkan dari Google dengan keyword “anak Ahok”.

Di mana artikel asli yang terdapat gambar ini adalah pada laman ini.

Bagian judul dan gambar kepala dari sebuah berita itu adalah elemen yang sangat vital, kenapa begitu? Seperti kita ketahui, media sosial yang paling banyak penggunanya adalah Facebook dan bahkan di artikel ini ada tombol untuk membagi (share) berita ini ke Facebook, nantinya yang akan muncul di linimasa Anda adalah elemen ini saja. Elemen inilah yang menjadi Kesan Pertama dari berita ini. Tidak jarang (kalau tidak bisa saya sebutkan kebanyakan) orang hanya melihat bagian ini saja tanpa membuka tautan yang dibagikan tersebut. Yang membuat semakin parah apabila reaksi yang ditimbulkan adalah langsung bereaksi terhadap Kesan Pertama ini, entah itu mengomentari, membagikan atau bahkan menyebarkan berita ini.

Sebelum saya menjelaskan lebih lanjut terhadap pembelokan persepsi, ada baiknya saya bedah lebih lanjut berita contoh yang satu ini. Kesan pertama….iya! Kesan pertama yang ingin dibuat dari gambar ini seolah-olah adalah kalimat “Tak ada gunanya tinggal di negeri ini” diucapkan oleh Sean dalam statement publik dengan balutan baju resmi di depan wartawan sesuai dengan gambar yang ditaruh pada kepala berita. Seperti yang saya tuliskan di atas, kebanyakan orang hanya melihat kesan pertama berita ini tanpa membaca isinya dan hal ini sangat tidak baik. Mengapa? Mari kita lanjutkan ke isinya.

Apabila diperhatikan isi dari berita ini, sesungguhnya tidak sepenuhnya persis dengan gambar yang dikesankan di atas, saya bisa menilai begini ketika membaca bagian kalimat:

“Itu mereka bilang, ngomong antar anak saja, kalau di depan saya tidak bilang,” ujarnya (Ahok).

Artinya, ini adalah omongan antar anak-anak Ahok yang berarti bahwa itu kapasitasnya bukan statement resmi. Nah inilah masalah pembelokan persepsi itu, seolah-olah berita ini adalah suatu hal yang resmi yang bisa dipertanggungjawabkan secara hukum, padahal omongan ini adalah statement emosional antar keluarga yang tidak sekrusial itu muatannya. Di sini kita temukan satu masalah. Oke lanjut ke masalah berikutnya yaitu: muncul dari cara komposisi berita ini. Ini adalah masalah yang membedakan mana pemberitaan profesional mana yang merupakan tulisan seorang amatir, seperti tulisan saya ini hehehehe. Sepanjang saya scroll berita di halaman ini, saya tidak menemukan sama sekali nama wartawan yang membuat berita ini. NAH LHO! Kenapa bisa begitu? Jawabannya ada dibawah bagian berita tersebut.

Perhatikan bagian “(Merdeka/SN)Oalaaah jelas saja daritadi saya mondar-mandir scroll atas kanan bawah kiri kok ga ada nama wartawannya; ternyata ini hanya berita saduran dari sumber lain! Dan yang lebih parah, sama sekali tidak ada tautan resmi ke berita ini. Selidik punya selidik inilah berita yang dikutip tersebut.

Nah apabila Anda membaca berita yang di sumber aslinya terlihat perbedaannya :
1. Terdapat nama wartawan yang meliput
2. Terdapat tanggal peliputan
3. Ada bagian website yang berisi tautan kepada Info Redaksi dan kantor berita
4. Apabila kita melihat isi beritanya jelas sekali bahwa dari gambar dan judul akan terbersit bahwa statement anak Ahok bukan diceritakan sumber pertama yaitu Sean (seperti kutipan berita di atas) melainkan statement ini adalah penuturan dari Ahok kepada wartawan tentang anaknya yang ngobrol.
5. Dan ini buat beberapa diantara kalian yang paham sih…hehehe bahwa di sumber aslinya tidak ada tag-tag Blog macam template WordPress yang digunakan pada berita pertama, karena website yang merupakan sumber berita yang terpercaya tentunya dikelola secara profesional dan tidak asal-asalan.

Jadi untuk menggambarkan berita ini, kita melihat penulis artikel ini (yang entah siapa namanya) menyadur isi dari berita website lain dengan merubah gambar dari berita Lain (Liputan 6) sehingga persepsi pembaca menjadi kabur dan salah menangkap maksud dari berita ini. Hmmm kalau buat berita begituan mah saya rasa Anda juga bisa bukan? Apakah berita tersebut termasuk HOAX? Saya tidak terlalu yakin karena toh berita ini memang valid meski isinya dibuat bias. Sayangnya pasti banyak yang terbelok persepsinya karena…….. ini yang akan membawa kita pada judul tulisan saya kalimat kedua yaitu tidak semua orang berusaha untuk Berfikir Secara Objektif.

Objektif

Pernah ada satu becandaan jaman saya kuliah yang menyoroti betapa sedikitnya aparat kepolisian di Jakarta (atau mungkin di Indonesia?). Saya katakan “Orang Indonesia rata-rata cenderung emosional, tidak pintar untuk berfikir objektif dan kritis karena sangat mudah berasumsi. Itu kenapa Infotainment bisa laku di sini, karena banyak orang lebih suka membicarakan sesuatu tanpa memahami sebetulnya apa yang terjadi”. Dan ternyata statement ini ada benarnya juga meski tidak sepenuhnya mencukupi untuk konteks tersebut. Kesulitan untuk berfikir objektif yang paling besar adalah Asumsi, Tendensi dan Persepsi. Mari kita membuat sebuah contoh sehingga Anda bisa memahami apa yang saya bicarakan.

Bagian I
Masih ingatkah Anda tentang sebuah gosip sekitar tahun 2005 dimana ada kabar tentang keretakan rumah tangga artis Andhara Early dengan penyanyi Ferry Iskandar? Bahkan kabarnya, ini dipicu karena anak pertama Andhara Early yang bernama Maghali tidak diakui oleh Ferry Iskandar. Ferry adalah pihak yang pertama membuka suara dan memberi klarifikasi tentang kabar perceraiannya. Dia mengatakan bahwa perceraiannya diakibatkan oleh lahirnya anak yang bukan dari benihnya.

Klarifikasi pertama adalah informasi paling awal yang akan kita dapatkan dari sebuah berita dan dikasus ini, Ferry lah yang melakukan klarifikasi pertama. Dengan klarifikasi ini, ia menimbulkan dugaan PERSELINGKUHAN. Dari sinilah awal mula pola pikir kita dibentuk dalam runtutan peristiwa ini. Kita memang selalu berasumsi tentang suatu hal bahkan sebelum kita mengetahui tentang seluk-beluk suatu peristiwa tersebut. Hal ini menghambat kita saat kita menelaah sebuah peristiwa secara jernih. Dalam kasus ini, kita pasti sudah berasumsi bahwa alasan paling mudah untuk perceraian adalah ketidaksetiaan dan kebetulan info pertama yang masuk kepada otak kita adalah sebuah KONFIRMASI dan ini membuat kita berhenti untuk memahami lebih jauh karena asumsi kita telah terkonfirmasi. Kita telah puas bahwa dugaan kita menjadi kenyataan. Nah rasa kepuasan inilah yang menghambat semua fakta yang bisa kita cerna dan membuat kita kehilangan objektifitas berfikir kita.

Seharusnya, kita tidak hanya mendengar cerita dari satu arah saja, namun kita berhenti untuk mencerna informasi dikarenakan kita sudah terlalu puas dengan asumsi kita yang sudah terkonfirmasikan. Nah ini karena kita memiliki tendensi agar opini kita itu harus menjadi benar adanya. Kemudian kita beranggapan bahwa Ferry memiliki tendensi tersendiri untuk mengungkapkan betapa ia tersakiti dan dizalimi dan membentuk pola pikir kita karena ini adalah info atau rangsangan pertama terhadap masalah ini dimata publik dan kemudian cerita ini pun berlanjut.

Bagian II
Gantian Andhara Early yang mengklarifikasi berita tersebut dengan mengajak laki-laki yang dikabarkan adalah ayah kandung Maghali, yang ternyata adalah Nazriel alias Ariel “Peterpan”. Keduanya membantah kabar yang beredar dan menegaskan bahwa hubungan diantara keduanya tidak lebih dari sekedar teman biasa.

“Saya hanya mau buat pernyataan, bukan klarifikasi karena tidak ada yang perlu diklarifikasi. Saya di sini menegaskan bahwa Maghali Inala Nettar bukan anak dari Ariel Peterpan” lanjut Andhara. Namun Andhara yang juga didampingi ayahnya tak ingin menyebutkan siapa ayah dari bayi yang baru dilahirkannya itu. Alasannya, ia tak ingin membuat polemik baru. Ariel yang duduk bersama Andhara menjelaskan, kehadirannya pada jumpa pers tersebut adalah demi kebaikan keluarganya. Ketika kabar miringnya dengan Andhara mencuat, keluarga Ariel pun sempat bergejolak. Untungnya ayah Andhara menghubungi Ariel. Keduanya pun sepakat untuk menjernihkan masalah ini dengan menggelar jumpa pers bersama. “Saya melakukan ini karena dipaksa teman-teman. Reaksi Sarah sejauh ini baik-baik saja. Kalau ada berita macam-macam ya didiemin aja. Yang penting bagaimana jelasinnya”.

Saya masih ingat waktu itu saya menonton berita ini di rumah teman. Ketika itu saya sedang bermain namun perhatian saya teralihkan karena ibunya sedang menonton berita ini sambil berteriak mengomentari tayangan di tivi “IYALAH! Yang namanya Maling mana mungkin ngaku! Kalo ngaku mah penjara penuh”. Sebuah kalimat klasik, sebuah kalimat yang sangat stereotip yang sampai sekarang saya sendiri membenci kalimat ini apabila orang mengatakannya. Kenapa begitu? Karena terdapat konflik tendensius di sini. Andhara dan Ariel bertendensi untuk membantah tuduhan terhadap mereka, kemudian pemirsa di rumah yang telah terkonfirmasi asumsinya seperti diatas bertendensi untuk mempertahankan pendiriannya dengan kalimat stereotip di atas dan akhirnya kita tidak bisa melihat masalah ini secara jernih lagi, dikarenakan sudah banyak sekali persepsi yang beredar di masyarakat.

Di sinilah tendensi dan persepsi kita bermain, sebuah idiom yang terbukti sering terjadi adalah “manusia cenderung mempercayai apa yang ingin dia percaya, bukan apa yang seharusnya dia percayai”. Bagaimana kalau memang seandainya Ariel bukan selingkuhan Early? Atau bagaimana kalau ternyata tidak ada perselingkuhan namun itu adalah anaknya Ferry? Semua pertanyaan di atas sampai sekarang pun tidak terjawab setelah hampir 12 tahun kasus ini berlalu. Mungkin karena memang masalah ini dicukupkan untuk hanya diketahui keluarga saja dan memang itulah yang terbaik bagi semuanya.

Objektifitas kita untuk melihat sebuah masalah secara apa adanya itu pasti tidak akan terwujud bila kita sudah memiliki asumsi tersendiri tentang sebuah masalah, terlebih lagi apabila semua observasi yang kita lakukan hanya mengikuti asumsi kita saja; seolah-olah hanya agar asumsi itu terkonfirmasi. Ini yang sering disebut sebagai PANDANGAN BIAS. Menurut hemat saya, ini semua terjadi karena ego dari setiap orang dalam menyikapi masalah, sering kali yang kita cari bukanlah akar masalah maupun penyelesaian dari suatu masalah, namun yang kita cari hanya sekedar pembenaran atau konfirmasi dari asumsi kita tersebut. Tentunya tidak semua orang memiliki persepsi sama terhadap suatu masalah yang dihadapi. Nah di sinilah kebutuhan untuk toleransi serta kompromi dibutuhkan.

Kita tentunya tidak dapat menyelesaikan suatu masalah kalau kita hanya ingin mempertahankan argumen masing-masing dan juga hanya ingin menang sendiri. Bila itu terjadi, berarti sikap ini menujukkan bahwa kita tidak mengerti bahwa sesungguhnya semua hal itu membutuhkan toleransi dan kompromi masing-masing pihak yang bermasalah. Memang disadari, manusia cenderung ingin memuaskan egonya sendiri, ingin dirinya benar dan mencari pembenaran untuk dirinya sendiri saja, setelah itu tercapai maka memicu keinginan untuk mengerdilkan orang lain yang tidak sependapat dengan kita. Sungguhkah segitu angkuhnya kita? Apakah akal kita diciptakan hanya untuk membuktikan bahwa kita benar tetapi tidak mencari sebenarnya kebenaran yang hakiki? Saya bisa saja berlarut-larut membandingkan para calon pemimpin DKI yang tengah bersaing, tapi lebih baik saya hindari karena ada yang lebih penting dari itu semua, yaitu: kedewasaan berfikir yang nantinya akan membuat persaudaraan diantara kita lebih baik lagi.

Imbauan saya dalam paparan ini adalah semoga kita sebagai manusia yang tak pernah sempurna ini tidak pernah berpuas diri dengan apa yang kita ketahui. Sesungguhnya ilmu pengetahuan di luar sana banyak menanti untuk kita gali dan menunggu untuk kita datangi. Yang sedang bertikai mari berhenti untuk menggali keburukan satu sama lain. Ingatlah bahwa di balik itu semua pasti ada kebaikan dalam diri setiap orang. Janganlah berhenti mencari fakta karena fakta itu adalah sebuah kebenaran meski kebenaran itu tidak selalu sesuai keinginan kita.

“Jangan berhenti mencari kebenaran, Meski fakta itu tidak sesuai dengan keinginan Anda”

Penutup:

Hiruk-pikuk pilkada DKI yang sekarang juga meluas ke masalah SARA ini memang membuat banyak (atau bahkan terlalu banyak) informasi berseliweran di media sosial, terutama pasca Aksi 411. Saya sebenarnya mau bilang prihatin tapi itu trademarknya pak SBY hehehe; ya intinya saya heran hanya karena kepentingan politik sekelas Pilkada saja bisa membuat kita saling bermusuhan, apalagi nanti 2019 saat pemilihan presiden?

Sesama teman, sesama saudara bisa saling bermusuhan karena saling beda pendapat. Masing-masing ingin memuaskan egonya sendiri dengan merendahkan dan menyalahkan orang lain, padahal tidak ada yang tahu kebenaran pastinya itu apa. Hanya demi apa? Kemenangan PILKADA! Hanya demi kemenangan Pilkada, banyak orang yang tega untuk saling menyebarkan api permusuhan dan membenci satu sama lain! Ironis bukan?

Pada masa lalu Belanda susah payah membelah umat islam Aceh dengan menciptakan seorang “muslim palsu” yang terkenal itu: Christian Snouck Hurgronje. Dia berpura-pura masuk Islam (dengan embel-embel menanggalkan nama Christian-nya) untuk memecah-belah dan mengadu domba rakyat Aceh. Apabila peristiwa ini bisa memecah-belah persaudaraan kita, mungkin pada masa lalu seharusnya Belanda tidak menyusupkan Snouck Hurgronje ke masyarakat. Dia buat saja Pilkada, mungkin saja masyarakat bisa lebih mudah terpecah seperti yang kita alami sekarang….ckckck.

Melalui tulisan ini, saya sesungguhnya ingin mengajak kepada kalian semua yang membaca agar belajar objektif, belajar untuk kritis terhadap hasutan maupun ujaran kebencian. Koreksi diri bahwa kita hanya manusia yang bisa jadi masih naif dan tidak mengerti tentang sebuah permasalahan yang terjadi. Maka, daripada memperbanyak dosa dengan saling bertikai, lebih baik kita menambah ilmu dengan belajar, agar kita bisa kritis sehingga kita bisa lebih baik dalam berfikir objektif.

Semoga bermanfaat dan menjadi renungan bersama

Source : Poetra Mahendra’s Corner

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button
.