
TRANSAKSI TANPA RUPIAH, DENDA RP 200 JUTA
Oleh: Harry F. Darmawan/GoDiscover
DEMI mendukung kegiatan industri penjualan valuta asing (valas) yang lebih sehat dan efisien, Bank Indonesia menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 18/20/PBI/2016 tentang Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank (KUPVA BB).
Dalam aturan tersebut, jenis usaha seperti perhotelan, travel agent, toko dan lain-lain yang berkaitan dengan kegiatan penukaran valuta asing agar segera memiliki izin sebagai pelaku KUPVA BB.
Mewujudkan hal itu, BI Kantor Perwakilan (KPw) Balikpapan menggelar sosialisasi yang dihadiri oleh pelaku usaha di bidang-bidang tersebut, Jumat (10/3) siang di KPw Bank Indonesia Balikpapan.

Membuka sosialisasi, Manajer Unit Operasional Sistem Keuangan BI KPw Balikpapan Bambang Wibisono memaparkan, BI selaku otoritas memiliki kewenangan atas pengaturan kelembagaan dan kegiatan usaha serta perizinannya. “Setiap pelaku KUPVA BB wajib memperoleh izin BI,” tegasnya.
Ditambahkan, BI terus melakukan pengawasan untuk memastikan kepatuhan KUPVA BB terhadap ketentuan yang berlaku. “Baik secara langsung maupun tidak langsung, kami akan terus pantau,” sambungnya.
Dengan berlakunya aturan ini, KUPVA BB juga akan mendapat berbagai manfaat, seperti meningkatkan kredibilitas, mengurangi risiko dijadikan sebagai sarana kejahatan, mendapat penyuluhan dan pengembangan dari BI, perluasan usaha yang mendapat dukungan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat.

Bambang kembali menegaskan, setelah 7 April nanti, BI akan menindak tegas mereka yang belum memegang izin dari BI. “Kalau tidak, kami akan merekomendasikan penghentian usaha dan bahkan menempuh jalur hukum,” sebutnya.
Di sesi berikutnya, Asisten Manajer Unit Operasional Sistem Keuangan BI KPw Balikpapan Ronny Cahyadi mengungkapkan, sesuai dengan UU No. 23 Tahun 1999 dan UU No. 7 Tahun 2011, setiap orang yang bertransaksi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) wajib menggunakan Rupiah.
Ini dilakukan guna mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah. “Ini juga membuat Rupiah berdaulat di negaranya sendiri,” ujarnya.

Meski begitu, tidak semua transaksi wajib menggunakan Rupiah, seperti transaksi tertentu dalam rangka pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), penerimaan atau pemberian hibah dari atau ke luar negeri, transaksi perdagangan internasional dan simpanan di bank dalam bentuk valas. “Transaksi pembiayaan internasional juga tidak diwajibkan menggunakan Rupiah,” tutur Ronny.
Bagi pihak yang ketahuan tidak menggunakan atau menolak Rupiah untuk pembayaran di wilayah NKRI akan dikenakan hukuman berupa kurungan paling lama 1 tahun atau denda mencapai Rp 200 juta.
Ronny menjelaskan, saat ini masih banyak penggunaan mata uang selain Rupiah di NKRI. “Baik dalam bentuk pencantuman harga dalam valas, umumnya dolar, ataupun pembayaran transaksi dengan valas,” imbuhnya.
Berlandaskan PBI No. 17/3/PBI/2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah NKRI, aturan tersebut berlaku untuk transaksi baik tunai maupun non tunai. “Untuk mendorong efektivitas penerapan kebijakan ini, pencantuman harga barang atau jasa di NKRI wajib hanya dalam Rupiah,” paparnya.
Selain sanksi pidana kurungan 1 tahun atau denda Rp 200 juta, untuk transaksi non tunai, BI berwenang mengenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis, denda sebesar 1% dari nilai transaksi atau maksimal Rp 1 Miliar dan larangan ikut dalam lalu lintas pembayaran.
“Kewajiban penggunaan Rupiah untuk transaksi tunai sudah berlaku sejak 28 Juni 2011 lalu. Sedangkan non tunai berlaku sejak 1 Juli 2015 kemarin,” pungkasnya. (*)