Lifestyle

Mencari Pemahaman Baru tentang Gangguan Bipolar lewat Sains

Gangguan bipolar merupakan masalah kesehatan jiwa yang menyebabkan perubahan ekstrem pada mood, energi, aktivitas, dan kemampuan seseorang untuk melakukan kegiatan sehari-hari.

Masalah ini sebetulnya tidak langka, dan menurut data WHO pada tahun 2016, gangguan bipolar dialami oleh sekitar 60 juta orang di seluruh dunia.

Namun demikian, masih banyak aspek dari gangguan bipolar, termasuk penyebab dan penanganannya, yang masih menjadi teka-teki di dunia medis. Untuk menjawab teka-teki ini, berbagai penelitian dilakukan.

Masalah pada Otak

Psikiater dr Dharmawan Ardi Purnama, SpKJ berkata bahwa penyebab dari gangguan bipolar merupakan genetik.

Akan tetapi, belum diketahui gen tunggal yang menyebabkan gangguan bipolar karena masalah ini merupakan hasil interaksi dari banyak gen dan banyak faktor.

Salah satu usaha untuk mengungkap gen penyebab gangguan bipolar dilakukan oleh para peneliti dari University of Michigan dalam Heinz C. Prechter Bipolar Research Program.

Dalam studi raksasa ini; para peneliti mengumpulkan dan menganalisis data genetika, emosi, pengalaman hidup, catatan medis, motivasi, pola makan, temperamen, pola tidur, dan pola pikir dari 1.100 pasien selama bertahun-tahun. Lebih dari 730 pasien di antaranya mengalami gangguan bipolar.

Hasil yang telah dipublikasikan dalam International Journal of Epidemiology pada 2017 ini lagi-lagi menemukan bahwa meskipun gangguan bipolar menurun dalam keluarga, tidak ada satu gen tertentu, seperti pada kanker payudara, yang bisa dipastikan sebagai penyebab masalah kesehatan jiwa ini.

Para peneliti justru menemukan bahwa gangguan bipolar tidak disebabkan oleh satu hal saja, tetapi oleh perubahan genetik, ketidakseimbangan kimiawi, kejadian eksternal, dan hal-hal lainnya; walaupun dua gen bernama CACNA1 dan ANK3 diduga memiliki pengaruh pada terjadinya gangguan bipolar.

Menariknya, para peneliti dalam program studi ini juga mendapati bahwa neuron pasien gangguan bipolar mengekspresikan lebih banyak gen untuk reseptor membran dan saluran ion, terutama gen untuk reseptor dan saluran yang mengirim dan menerima sinyal kalsium antara sel. Padahal, sinyal kalsium ini penting untuk perkembangan dan fungsi neuron.

Masalah ini, ujar para peneliti dalam makalah di jurnal Translational Psychiatry pada 2014, seperti pengiriman surat dan paket yang salah arah.

Petunjuk serupa mengenai penyebab gangguan bipolar juga ditunjukkan oleh studi yang dipublikasikan oleh profesor neurologi, psikiatri, dan genetika manusia dari University of California, Los Angeles, Daniel Geschwind bersama koleganya di jurnal Sciences pada Februari 2018.

Mereka mengungkapkan bahwa penderita gangguan bipolar memiliki pola ekspresi gen di otak yang mirip dengan penderita autisme dan penderita skizofrenia. Kesamaan ini berupa pengaktifan astrosit dan penekanan gen yang ada pada sinaps, percabangan di antara neuron, yang menyebabkan miskomunikasi sel otak.

Pertanyaannya adalah gen apa yang menyebabkan menganggu pengiriman dan penerimaan sinyal antara sel otak hingga terjadi miskomunikasi ini.

Profesor Markus Nothen dari University of Bonn, Jerman, bersama tim internasionalnya menganalisis informasi genetis dari 9.747 pasien gangguan bipolar dan 14.278 individu yang tidak mengalami gangguan bipolar. Secara total, ada 2,3 juta wilayah DNA yang dipelajari.

Dalam jurnal Nature Communications pada 2014, tim ini berhasil mengidentifikasikan lima kandidat gen penyebab gangguan bipolar, yakni ANK3 seperti yang diduga oleh para peneliti dari University of Michigan, ODZ4, TRANK1, ADCY2 pada kromosom 5 dan MIR2113-POU3F2 pada kromosom 6.

Nothen dan kolega secara khusus tertarik untuk mempelajari ADCY2 lebih lanjut karena gen ini berfungsi dalam produksi enzim yang mengonduksikan sinyal ke sel-sel saraf.

Selain miskomunikasi sel otak, beberapa studi juga menemukan masalah lain pada otak, seperti tingkat keasaman yang tinggi dan penipisan materi abu-abu, yang diduga sebagai penyebab gangguan bipolar.

Dugaan mengenai tingginya tingkat keasaman otak pada pasien gangguan bipolar ini semakin dikuatkan oleh temuan Tsuyoshi Miyakawa dari Fujita Health University dan timnya dalam jurnal Neuropsychopharmacology pada 2017.

Setelah menganalisis hasil dari 10 studi yang membandingkan otak pasien skizofernia dan bipolar yang sudah meninggal dengan subyek kontrol, tim Miyakawa menemukan bahwa median nilai pH pasien bipolar lebih rendah daripada subyek kontrol.

Hasil serupa juga ditemukan tim ketika memeriksa lima model tikus yang memiliki gen untuk kondisi gangguan bipolar.

Meski demikian, studi ini dilakukan pada pasien yang sudah meninggal sehingga masih perlu ditindaklanjuti dengan pencitraan otak pasien yang masih hidup. Selain itu, apakah keasaman otak yang mungkin menjadi karakteristik pasien gangguan bipolar ini adalah efek atau penyebab masih belum jelas.

Lalu pada tahun yang sama, sebuah konsorsium global yang terdiri dari 76 pusat penelitian dan 26 tim peneliti di seluruh dunia memublikasikan hasil dari studi MRI terbesar terhadap 6.503 individu dalam jurnal Molecular Psychiatry. 2.447 pasien dipelajari memiliki gangguan bipolar, sedangkan 4.056 individu sisanya tidak.

Mereka menemukan adanya penipisan materi abu-abu, terutama pada lobus frontal dan lobus temporal yang mengatur kontrol diri dan emosi, pada pasien gangguan bipolar.

Mencari Penanganan Terbaik

Selain penyebab, para peneliti juga terus mengeksplorasi efektifitas dan keamanan berbagai pengobatan dan penanganan gangguan bipolar.

Salah satunya telaahan yang baru dipublikasikan di jurnal Bipolar Disorder.

Para peneliti menemukan bahwa terapi litium paling efektif dalam mengontrol gejala gangguan bipolar dibanding monoterapi lainnya setelah menelaah sembilan studi observasi terkontrol yang melibatkan 14.271 pasien dengan gangguan bipolar di Swedia, Denmark, Amerika Serikat, Jerman, Italia, Inggris, Australia dan Kanada.

Selain lebih efektif dalam mengontrol gejala gangguan bipolar, litium juga ditemukan mengurangi risiko bunuh diri dan kemunculan demensia pada pasien dengan gangguan bipolar.

Efektivitas dari terapi garam litium semakin setelah ditemukan dapat meminimalisir penipisan materi abu-abu dan memperbaiki pola sinyal kalsium diterima dan dikirim oleh sel otak.

Litium juga ditemukan dapat membantu mengurangi gejala gangguan bipolar yang disebabkan oleh masalah protein.

Setelah para peneliti yang berbasis di San Diego, Amerika Serikat mengidentifikasikan adanya gangguan pada protein CRMP2 yang meregulasi jaringan neural, studi lanjutan mereka yang dipublikasikan dalam PNAS menemukan bahwa litium dapat menormalkan protein ini.

Di samping terapi litium, terapi lain yang belakangan menjadi fokus para peneliti adalah penggunaan terapi cahaya dan terapi hormon untuk pasien gangguan bipolar.

Terapi cahaya sebetulnya digunakan untuk menangani gejala seasonal affective disorder (SAD), sebuah gangguan mood yang terjadi pada musim-musim tertentu. Terapi ini menggunakan cahaya putih buatan untuk menggantikan peran cahaya matahari pada musim dingin.

Dalam sebuah studi awal yang melibatkan 46 pasien gangguan bipolar, para peneliti dari Feinberg School of Medicine, Northwestern University mendapati bahwa terapi cahaya mengurangi episode depresi pada 68 persen pasien gangguan bipolar, sedangkan plasebo hanya mengurangi depresi pada 22 persen pasien gangguan bipolar.

Terapi ini juga ditemukan aman dan tidak menimbulkan perubahan mood dari depresi ke mania oleh Francesco Benedetti dari Scientific Institute Ospedale San Raffaele yang menelaah 41 makalah tentang penggunaan terapi cahaya pada 799 pasien.

Sementara itu, studi yang diuraikan dalam jurnal Bipolar Disorder pada Januari 2018 oleh Olivia M Dean dari IMPACT Strategic Research Centre, Deakin University, Australia, dan kolega menunjukkan bahwa terapi hormon, terutama tamoxifen yang sebetulnya untuk kanker payudara, memiliki dampak positif bagi penderita gangguan bipolar.

Akan tetapi, Dharmawan berpendapat bahwa terapi cahaya dan hormon belum bisa diaplikasikan di Indonesia untuk pasien gangguan bipolar.

“Terapi cahaya kurang relevan (untuk pasien gangguan bipolar), walaupun untuk gangguan tidur lain dan episode depresinya masih bisa diaplikasikan di Indonesia. Saya pernah bicara tentang ini di kongres nasional bipolar beberapa tahun lalu,” katanya.

Dia pun berkata bahwa psikiater Indonesia menghindari terapi hormon karena kemungkinan efek sampingnya yang berbahaya.

Untuk saat ini, terapi di samping pengobatan yang paling memungkinkan menurut Dharmawan adalah electroconvulsive therapy (ECT) atau terapi kejut listrik.

Dilansir dari artikel Kompas.com 21 Desember 2017, Dharmawan menjelaskan bahwa ECT yang dibantu dengan anestesi mengaplikasikan sejumlah joule untuk mereset otak pasien.

Saat ini, para psikiater dan ahli di rumah sakit jiwa Indonesia terus mengembangkan terapi ECT dengan anestesi untuk terapi gangguan bipolar agar semakin aman dan efektif.

Source: Kompas Sains

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button
.