Menghindari Stres Akibat Mengikuti Berita
Bagi sebagian orang mendengarkan berita di radio saat macet, mengakses kabar terbaru lewat media sosial di pagi hari adalah bagian dari rutinitas yang menyenangkan. Namun, Anda tak sendiri jika merasa belakangan aktivitas tersebut kerap bikin naik darah dan geram.
Tak peduli kiblat Anda ke mana, demikianlah efek terus-terusan mengikuti berita politik bagi sebagian orang. Maka tak heran jika status keluh kesah seperti “Pilkada sudah selesai, masih saja ribut soal politik” belakangan berseliweran di linimasa Anda.
Hal serupa tak hanya dialami masyarakat Indonesia, khususnya Jakarta, namun juga masyarakat di Amerika Serikat. Ini terungkap lewat survei yang dilakukan NPR, Robert Wood Johnson Foundation, dan Harvard School of Public Health.
Survei menyatakan, 40 persen responden yang merasa stres beberapa waktu belakangan menyebutkan konsumsi berita sebagai faktor yang berkontribusi. Sementara 44 persen lain menyatakan bahwa mendengar kabar aktivitas pemerintah atau politisi sebagai penyebab lain dari stres. Padahal, survei ini dilakukan pada 2014 silam, sebelum masa Pilpres AS.
Anda dapat membayangkan betapa tingkat stres terus bertambah menjelang, saat, dan sesudah Pilpres.
Menurut profesor psikologi University of Texas, Mary McNaughton-Cassill–yang lama meneliti hubungan antara stres dan berita–ini adalah fenomena modern. Jika zaman dahulu penyebaran berita lambat, maka kini masyarakat bukannya kekurangan, malah kebanjiran informasi.
Stres karena media adalah hal yang tak bisa dianggap remeh. Namun, Anda tak harus mengucilkan diri dari kabar terkini sebagai solusi. Kumpulan tip dari beberapa ahli berikut layak coba.
Perhatikan kebiasaan
Jika merasa mengikuti berita berdampak buruk, menurut Laura van Dernoot Lipsky, penulis Trauma Stewardship: An Everyday Guide to Caring for Self While Caring for Others, Anda dapat mengenalinya lewat tanda-tanda seperti merasa lelah, mati rasa, atau jadi lebih sinis dari biasanya.
Namun, tak perlu mengikuti emosi lantas jadi marah lalu lelah. McNaughton-Cassill menyarankan Anda bertanya pada diri sendiri. Mengapa Anda terus mengikuti perkembangan berita politik?
Mengidentifikasi alasan kebiasaan konsumsi media yang tak sehat adalah langkah pertama untuk menyudahinya. Jika ternyata apa yang Anda rasakan lebih serius, ada baiknya mereevaluasi kebiasaan konsumsi media.
Membaca atau menonton berita sebenarnya tak menyebabkan kecemasan atau depresi dengan sendirinya namun, bisa memperburuk gejala yang ada. Jika merasa demikian, sebaiknya Anda berkonsultasi dengan tenaga kesehatan jiwa profesional.
Ubah kebiasaan konsumsi berita
Sering kali, bukan hanya konten berita yang membuat seseorang naik pitam, melainkan juga kemasannya. Carilah format media yang dapat dikendalikan, jadi Anda hanya melihat dan membaca yang Anda mau.
Ini bisa dilakukan dengan beberapa hal, misal memasang plug-in yang mendepolitisasi linimasa media sosial Anda. Dengan demikian Anda dapat merasa lebih damai, kalaupun ingin mencari tahu kabar terkini, Anda bisa mendapatkannya dari sumber-sumber yang terpercaya.
Istirahat
Saat merasa berita sudah terlalu mengganggu, matikan saja televisi atau singkirkan ponsel. Alihkan perhatian pada hal lain yang menyenangkan.
Senantiasa mengikuti perkembangan berita 24 jam sehari bukan saja mustahil tapi juga bisa jadi tak sehat. Van Dernoot Lipsky menyarankan Anda punya kehidupan lain di luar mengikuti perkembangan politik.
Luangkan waktu untuk menjauh dari berita. Sebagai upaya menghalau stres, perbanyaklah waktu istirahat. Misal, seminggu tak baca berita dapat mengistirahatkan otak dari tekanan konstan untuk selalu tahu kabar terkini.
Lakukan hal baik
Sekadar mengikuti berita, mengutuk yang sudah terjadi tak akan mengubah apapun. Akan lebih baik jika Anda berbuat sesuatu yang baik di dunia nyata.
Menjadi sukarelawan misalnya. Jika Anda tak bisa melakukan apa-apa saat mengikuti perkembangan berita, lain halnya dengan menjadi sukarelawan. Anda dapat berbuat sesuatu yang baik dan nyata.
Source : Beritagar.id