Lifestyle

Nasib Binatang di Era Manusia

Tragedi manusia dan binatang tidak henti dari jalan waktu. Saat mendapati pemberitaan kematian dokter hewan Esthi Oktavia Wara Hapsari di area Wisata Waduk Gajah Mungkur, gajah menjadi terdakwa. Perhatikan saja pemberitaan sekian koran, gajah selalu diposisikan sebagai kriminal, penjahat, dan penyebab utama kematian manusia.

Kita cerap: “Disayang Malah Menyerang” (Radar Solo, 12 Mei 2016), “Dokter Hewan Tewas Diinjak-injak Gajah” (Jawa Pos, 12 Mei 2016), “Dokter Hewan WGM Meninggal Diserang Gajah Marah” (Solopos, 12 Mei 2016), “Esthi Dililit dan Terlempar 3 Meter” dan “Kisah Tragis Dokter Hewan Tewas Diserang Gajah” (Joglosemar, 12 Mei 2016). Dramatis dan tragis bermula sejak kebahasaan yang tentu mewakili atau disepakati publik untuk berduka bagi manusia.

Di Kebun Binatang Bandung (KBB), gajah bernama Yani justru mati setelah sepekan terkapar tanpa pertolongan (Kompas, 12 Mei 2016). Kebun binatang tidak memiliki dokter hewan yang didaulat mampu menyelamatkan nyawa si gajah. Kematian gajah di kebun binatang Indonesia barangkali sudah terlalu biasa dan sering terjadi.

Dalam kasus satu ini, tidak mungkin media atau massa menyebut bahwa ‘Gajah Dibiarkan Tewas Perlahan di KBB’ atau lebih frontal menyatakan ‘Gajah Mati Dibunuh Petugas Kebun Binatang’. Dalam konflik manusia dan gajah, tuduhan dan kesalahan lebih ditempatkan pada pihak yang besar, buas, liar, dan binatang.

Orang Indonesia memang secara moral harus berduka dalam kematian Esthi. Manusia berduka meratap kepada Tuhan atas kehilangan nyawa manusia lain. Kematian sudah cukup menjadi kesimpulan menghilangkan alasan-alasan yang bisa saja membenarkan binatang tidak bersalah.

Apalagi, hanya sekadar keclap kamera tidak akan cukup membuktikan manusia bersalah telah mengganggu binatang atau tidak mengerti kondisi psikologis hewan. Bagi manusia era digital dan pariwisata, keclap kamera telah jadi kelumrahan. Bahkan, seharusnya binatang tahu diri untuk sadar kamera atau menampilkan gaya paling menggemaskan demi menyenangkan hati manusia.

Selama bertahun-tahun panjang, manusia hidup berdampingan dengan binatang dan tumbuhan. Dalam rekonsiliasi tidak bermaterai dan bertanda tangan, kesalingan hidup bersama tumbuh untuk mengasihi, membagi, dan memahami. Binatang hidup bersama manusia tidak hanya dalam bentuk raga, mereka turut dalam cerita, peribahasa, epos, atau nasihat bijak yang didaulat jadi penuntut hidup. Manifestasi kebahasaan mengingatkan manusia pada perwujudan watak diri. Manusia diingatkan bahwa naluri kebinatangan sangat bisa lebih buas dan jahat.

Antisipasi Luka

Dalam kisah apik oleh Enid Blyton yang dihimpun lewat buku Payung Ajaib dan Dongeng-dongeng Lainnya (1991) terdapat cerita berjudul “Burung Hantu Mungil yang Malang”. Binatang dan manusia satu sama lain memiliki jarak untuk mengantisipasi luka.

Diceritakan dua anak bernama Betty dan John mendapati induk burung hantu yang biasa bertengger di kabel listrik, mati di kolam. Mereka begitu sedih tidak mendapati lagi kicau si burung. Kebiasaan mengamati burung hantu, membuat perasaan Betty dan John khawatir bahwa si induk meninggalkan anak-anak di pohon.

Tukang kebun menolak memeriksa pohon karena takut dilukai kuku burung hantu yang tajam. Betty dan John harus menemukan cara tanpa harus melukai anak-anak burung. Mereka tidak ingin datang sebagai ancaman. “…bagaimana kalau kita jatuhkan sesuatu ke dalam sarangnya—sapu tangan, mungkin—supaya mereka cengkeram.

Setelah itu, kita tinggal tarik saputangannya, dan burung hantunya bisa terbawa naik!” ujar Betty. Kedekatan anak dan binatang mengabarkan sebuah resiko, tapi rutinitas melonggarkan batas. Semakin hari dalam kasih dan perawatan, anak-anak burung hantu itu jadi terbiasa bertengger di tangan anak-anak dengan tenang.

Bahkan, memang terasa berat menyerahkan batin yang tulus tanpa ancaman demi membuat binatang percaya manusia tidak menembak, memanah, membabat hutan, atau meracun. Lily Owens dalam novel The Secret Life of Bees (2012) garapan Sue Monk Kidd belajar tentang cuaca, siklus hidup lebah, tugas setiap jenis lebah, dan sarang sebagai tahapan menjadi peternak lebah.

Perlahan, Lily memahami bahwa harus ada kelukaan untuk saling mengakrabi. Ada saat membiarkan tubuh disengat lebah sebagai bentuk janji atas kehadiran diri yang tidak mengancam dan membahayakan. Pertemuan Lily dan lebah terlalu dangkal dikatakan sebagai transaksi atau kontrak bisnis madu. Ada cinta yang diberikan demi mendapatkan manisnya madu. Terutama, memahami siklus hidup lebah yang sering mengandung melankolia.

Alih fungsi lahan, pencemaran lingkungan, pengeboman, bisnis satwa, dan gaya hidup menyumbang krisis pada pertalian manusia dan hewan. Kegencaran konservasi atau perlindungan hewan semakin mencatat bahwa di luar konservasi, binatang sulit memiliki jaminan hidup. Binatang buas, tapi manusia tidak sadar menjadi lebih buas dengan senjata dan uang. Betapa harus diakui, kebun binatang justru jadi kuburan para binatang.

Di tengah era manusia dengan pengagungan pada HAM, para binatang hanya menumpang. Akal dan pikir meletakkan manusia pada kedudukan tertinggi di bumi. Sering dalam hitungan ekonomi dan bisnis, binatang cukup jadi pasokan terhitung, dilabeli halal, dan dikonsumsi masal.

Gaya hidup mewah menempatkan rangka mereka sebagai pajangan langka dan prestisius. Sejak dalam bahasa sekalipun, manusia paling punya otoritas mendefinisikan binatang itu buas, liar, jinak, berbahaya, atau haram. Setiap tragedi terjadi, kenapa kepada binatang kesalahan pertama mesti ditujukan?

Source : Qureta (Setyaningsih)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button
.