Lifestyle

Om Telolet Om dan Kampanye Kebahagiaan Internasional

Orang-orang Indonesia barangkali adalah subspesies paling menarik dari bangsa Homo sapiens. Manusia dikenal sebagai makhluk hidup yang paling mudah untuk beradaptasi. Khusus yang berasal dari Indonesia sepertinya dilengkapi kemampuan adaptasi paling luar biasa dalam sejarah evolusi: Mereka amat mudah bahagia dalam situasi macam apa pun.

Menurut tes PISA (Program for International Student Assessment) anak-anak Indonesia menempati peringkat kebahagiaan tertinggi di dunia. Padahal, skor yang dihasilkan anak-anak Indonesia pada tes tersebut menempati kedua terbawah. Mendapat nilai buruk saja anak Indonesia tetap paling bahagia dibanding anak-anak negara lain. Rupanya bakat bahagia telah mendarah daging sejak dini.

Di belahan bumi lain, orang-orang percaya kebahagiaan bersumber dari kekayaan. Kemudian setelah kaya ternyata belum juga bahagia. Tersiar kabar bahwa kebahagiaan rupanya didapat dari kepuasan berbuat baik kepada sesama. Dihabiskanlah kekayaan tadi untuk disumbang-sumbangkan, sehingga ia kemudian terkenal sebagai filantropis yang rela miskin demi kemaslahatan umat manusia. Ternyata, kebahagiaan didapatkan dari wajahnya yang populer di stasiun-stasiun TV seperti seorang malaikat. Ternyata lagi, ia sudah tidak punya harta tersisa untuk berbuat baik kepada sesama dan menjadi terkenal.

Intinya, kebahagiaan itu njelimet. Padahal njelimet itu tidak bahagia.

Orang Indonesia beda cerita. Makan rujak yang pedasnya pas, bahagia. Ngonthel lewat depan rumah kembang desa, bahagia. Disuruh bikin kopi sama pak kiai, bahagia. Akhir-akhir ini, yang sedang menjadi tren di kalangan remaja tanggung reaksioner: berburu telolet, bahagia.

Tren telolet ini sebenarnya bukan hal baru. Modifikasi klakson nyeleneh itu mungkin bahkan sudah lebih tua dari acara Pimp My Ride yang terkenal dengan pembawa acaranya, XZibit. Hanya saja, video-video yang memperlihatkan tawa cekakakan para telolet hunter di pinggiran jalan akhir-akhir ini marak beredar di media sosial. Menenggelamkan dalam-dalam meme “yo dawg”, sekaligus membuktikan bengkel-bengkel di negara dunia ketiga lebih moncer ketimbang workshop mahal di Amrik.

Kontan telolet hunter memenuhi tepi jalan antar kota, prapatan-prapatan besar, hingga terminal. Tak lupa, agar tetap produktif menapaki jalan hidup sebagai social climber, media sosial pun diteror habis-habisan. Frasa “om telolet om” menyebar lebih cepat dari Black Death pada abad ke-14. Mencengangkannya lagi, “om telolet om” bahkan memenuhi lini masa media sosial tokoh-tokoh internasional, mulai dari pemain basket kenamaan, Lebron James hingga presiden rambut Monas, Donald Trump.

Menurut Hukum Newton ketiga, aksi akan menimbulkan reaksi. Publik internasional bertanya-tanya, “What is going on with this om telolet om things?” Atau dalam bahasa yang lebih sederhana namun tetap ilmiah, “Om telolet om iki panganan jenis opo meneh?” Bangsa Indonesia yang sangat mudah bahagia menjadi semakin menggila melihat antusiasme netizen-netizen dari berbagai negara terkait fenomena yang mereka ciptakan sendiri.

Dengan penuh kesabaran, orang-orang Indonesia menjelaskan sejarah panjang “om telolet om” seperti seorang kakek yang menceritakan pengalaman membedil kumpeni saat Agresi Militer kepada cucu kesayangannya.

Rupanya, masyarakat internasional tidak seperti anak-anak kuliahan yang gampang bilang “oooh” meskipun tidak paham sepatah kata pun yang diucapkan dosennya. Mereka tetap bingung, tetapi mereka senang dan justru tidak mau kalah menyebarkan demam telolet. Klub-klub sepakbola berebutan pamer foto bus official, DJ-DJ mulai asyik mengulik nada dari sampel klakson telolet. Mereka bahagia hanya karena klakson bus, sama seperti bangsa kita.

Maka, siapa tahu nilai rendah pada tes PISA pun dikarenakan anak-anak Indonesia sibuk berburu telolet. Jangan dikata itu sebagai hal yang buruk. Sebaliknya, momentum ini adalah saat yang tepat bagi bangsa Indonesia untuk membantah mentah-mentah bahwa parameter kesejahteraan manusia adalah penghasilan tinggi, kemajuan ilmu pengetahuan, atau KB yang berhasil. Kesejahteraan manusia, ladies and gentlemen, adalah tak lain dan tak bukan kebahagiaan yang tidak muluk-muluk dari sebuah klakson bus. Klakson bus! Bukan lenggak-lenggok musik klasik atau kompleksitas musik jazz.

Pram menggambarkan keterlambatan bangsa Indonesia melalui karakter Minke yang sempat kebingungan menjawab pertanyaan gurunya di H.B.S., “Apa kontribusi bangsa Hindia terhadap peradaban?” Kini, pemuda-pemudi seusia Minke dapat dengan bangga mengatakan, “Kami mengkampanyekan kebahagiaan ke seluruh dunia melalui klakson bus. Om telolet om!”

Source : Querta
Ilustrasi Gambar : slidegosip.com
Penulis : Warih Aji Pamungkas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button
.