Pendidikan, Ijazah dan Cita-Cita
Semenjak usia tiga tahun, banyak anak-anak yang sudah memulai pendidikan di luar rumah, entah itu taman bermain, penitipan atau banyak lagi istilahnya. Di zaman sekarang, orang tua akan bangga jika anak-anaknya yang masih balita itu sudah bisa menyebutkan angka maupun abjad dengan benar. Orang tua pasti akan memamerkan kecakapan anaknya itu kepada banyak orang, terutama pada momen-momen di mana sesama orangtua berkumpul seperti dalam arisan, hari raya keagamaan, dll.
Mereka akan menggebu-gebu menceritakan tentang kebisaan anak balitanya melahap angka dan abjad dengan lancar. Apalagi tingkah polah anak-anaknya yang menggemaskan.
Tanpa terasa, saat memasuki taman kanak-kanak anak-anak itu kembali diarahkan pada pelajaran-pelajaran yang semestinya bukan untuk mereka. Anak-anak mulai dikenalkan dengan bahasa asing, cara mengitung cepat, menulis abjad.
Itu semua adalah pelajaran yang belum waktunya diberikan kepada mereka. Akan tetapi, jika mereka belum bisa, orang-orang di sekitarnya akan mengganggap anak itu tidak pintar. Lebih parah lagi, orang tua sang anak tak segan menghakiminya sebagai “bodoh”. Padahal, hal tersebut bukan karena ketidakmampuan anak semata, tapi disebabkan oleh banyak faktor lainnya.
Setelah lepas dari Taman Kanak-Kanak, banyak orang tua hanya bisa mengecek pendidikan anaknya dari nilai-nilai ulangan ataupun hasil ujiannya. Umumnya, para orang tua menjadikan kesibukan sebagai alasannya. Karenanya, mereka hanya bertanya tentang nilai dan nilai, seolah-olah mereka sangat pasrah soal pendidikannya. Cukup dipasrahkan sepenuhnya kepada guru di kelas dan sekolah.
Para orang tua hanya membanggakan (juga mencaci) soal nilai saja. Lagi-lagi hanya soal hasil. Mereka seolah sudah tidak sanggup untuk sekedar bertanya, bagaimana sekolahmu hari ini? Siapa temanmu? Apa yang kamu pelajari hari ini?
Orang tua ini bahkan hanya memberikan fasilitas terbaik menurut mereka. Mereka mendatangkan guru les A, B, C dan D tanpa bertanya, besok besar mau menjadi apa? Atau memberikan pilihan kepada anak untuk mendalami apa.
Tekanan di sekolah maupun di rumah semakin membuat anak menjadi “pekerja” untuk orang tuanya. Mereka melakukan apapun yang merupakan keinginan orang tuanya. Mereka dengan terpaksa melahap pelajaran yang sama hingga SMA, tanpa bisa membuat pilihan.
Para orang tua masih saja menilai anaknya itu dari nilai yang didapat. Mereka memberikan hadiah juga berdasarkan nilai yang didapat di sekolah. Maka yang terjadi, di Indonesia banyak anak yang mahir dalam pelajaran tertentu bukan karena mereka benar-benar menyukainya, melainkan karena menuruti keinginan orang tuanya. Lama kelamaan, karena yang awalnya tidak suka menjadi terbiasa, maka ujung-ujungnya hanya menjadi “kewajiban”, tanpa ada gregetnya.
Tidak sedikit orang tua yang menyekolahkan anaknya supaya mendapat nilai yang bagus, supaya nanti bisa diterima kerja di mana saja. Seolah-olah, sang anak memang diciptakan untuk menjadi buruh. Hanya ada satu dua orang yang megiklaskan anaknya untuk wiraswasta ataupun menjadi petani. Mereka dibiarkan dan dipaksa untuk melupakan asal usulnya demi sebuah gengsi orang tuanya.
Mereka akan merasa berhasil jika anak-anaknya bisa bekerja di kantor. Biar orang tua saja yang menjadi petani. Mereka lupa bahwa petani ataupun wiraswasta juga perlu diciptakan, dan itu juga membanggakan.
Mereka memodali anaknya dengan ijazah sekolah-sekolah favorit supaya mudah diterima di kantor, mendapat gaji tinggi. Tapi mereka juga kerap berpesan agar anak-anaknya mengingat asal-usul, sementara asal-usul mereka lama kelamaan akan dihapus oleh orang-orang yang berijazah tinggi itu dan kemudian mereka akan melupakan asal-usulnya.
Mereka lupa bagaimana menjadi petani. Dan apa yang terjadi nanti? Kita akan mengimpor kebutuhan makan kita dari negeri yang tidak lebih subur dari tanah kita yang dulu, kita mulai ketergantungan. Dan ketika ingin kembali ke asal-usul, kita sudah tidak punya lahan lagi, karena lahan kita sudah kita gadaikan untuk “kursi yang empuk” itu.
Source : Qureta.com (Ahmad Munaji)