Lifestyle

Pendidikan Sebagai Basis Kemanusiaan

Hari pendidikan nasional selalu diperingati setiap tanggal 2 Mei, dilatarbelakangi oleh perjuangan seorang tokoh bernama Raden Mas Suryaningrat atau lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara. Peringatanya ditetapkan oleh Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 316/1959 tanggal 16 Desember 1959, peringatan setiap 2 Mei bertepatan dengan hari kelahiran Ki Hajar Dewantara yang lahir pada 2 Mei 1889.

Kesadaran akan pentingnya pendidikan sebagai poros pembebasan manusia dari kebodohan karena pengaruh penjajahan yang panjang adalah faktor utama yang melatar belakangi Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa pada 3 Juli 1922.

Memasuki zaman modern dan era global, pendidikan semakin menjadi penting, C. Arnold Anderson mengatakan bahwa modernisasi hanya dapat dicapai dengan memperbarui dan meluaskan pendidikan. Sebagai sebuah negara yang besar, Indonesia masih memiliki banyak kekurangan dalam aspek pendidikan sebagai basis pembangunan.

Kebutuhan dasar seperti, infrastruktur bangunan dan sumber daya pengajar masih menjadi masalah yang belum terselesaikan dengan tuntas dan pola pendidikan yang belum menemui bentuk idealnya ditandai dengan kurikulum yang sering berubah. Belum selesai dengan kebutuhan dasar pendidikan, masalah lain timbul seiring dengan tuntutan zaman yaitu, pertumbuhan industri yang pesat seakan menarik semua yang ada didunia ini pada pusarannya.

Seiring dengan pesatnya dinamika perubahan dunia dalam berbagai aspek kehidupan, maka semakin membuat sulit bagi setiap negara untuk menghindarkan diri dari pengaruh eksternal yang besar dari proses perubahan tersebut. Perkembangan pasar dunia tidak hanya mempengaruhi aspek ekonomi melainkan mempengaruhi segenap aspek kehidupan, tidak terkecuali pendidikan.

Dunia pendidikan Indonesia sekarang dituntut untuk memenuhi kebutuhan pasar yang sangat besar, hal ini terlihat pada spesifikasi jurusan sekolah menengah dan perguruan tinggi dengan output yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan industri. Pardigma pendidikan seperti ini sudah ditanamkan sejak zaman Belanda, lulusan dari sekolah Belanda ini biasanya diproyeksiakan untuk jadi aparatur pemerintah atau pekerja di pabrik.

Dampak yang dirasakan sekarang adalah peserta didik yang mengikuti proses pendidikan dibatasi oleh keinginannya setelah lulus, kebanyakan dari mereka menargetkan diri untuk bekerja di perusahaan atau instansi yang menawarkan upah besar. Dengan perkembangan paradigma seperti ini maka tidak ada bedanya pendidikan Belanda dengan Indonesia, tidak ada bedanya saat dijajah dan setelah merdeka.

Ki Hajar Dewantara pernah mengungkapan nilai-nilai yang harus ada dalam pendidikan yaitu “Ingarso sung tulodho, Ingmadyo mangun karso, Tut wuri Handayani, yang memiliki makna bahwa setiap siswa memiliki kemerdekaan lahir batin.

Merdeka yang dimaksud adalah siswa yang mampu mengambil keputusan atas dirinya, mampu bertanggung jawab, dan mampu memposisikan dirinya dimasyarakat. Nilai-nilai pendidikan Ki Hajar Dewantara masih sangat relevan untuk diaplikasikan untuk mengembalikan pemahaman masyarakat akan hakikat pendidikan yang harus berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan.

Proses pembangunan pendidkan Indonesia harus segera menemukan bentuk idealnya untuk meningkatkan kehidupan anak bangsa karena pendidikan bukan mesin pabrik yang harus memproduksi barang. Dasar-dasar kemanusian yang telah diformulasiakan dalam pancasila dan UUD 1945 harus diaplikasikan dan diakumulasikan dengan nilai perkembangan zaman, agar output yang dihasilkan tidak meruntuhkan nilai-nilai kemanusian yang kian hari kian runtuh.

Source : Qureta.com (Irvan Hidayat)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button
.