EKONOMI INDONESIA 2016 MEMBAIK
Oleh: Harry F. Darmawan/GoDiscover
DI tengah realisasi belanja pemerintah yang lebih rendah, pertumbuhan konsumsi dan investasi tetap kuat serta ekspor yang meningkat, tercatat pertumbuhan ekonomi 2016 mencapai 5,02% (yoy), atau meningkat 0,14% dari tahun sebelumnya sebesar 4,88%.
Demikian paparan awal Deputi Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi & Moneter Bank Indonesia Bambang Pramono di sesi pembuka acara Pelatihan Wartawan Ekonomi Kaltim dan Kaltara 2017 di Crowne Plaza Hotel Bandung (9/2) pagi.
Dijelaskan Bambang, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang membaik tersebut didukung oleh konsumsi dan investasi — non-bangunan — yang terus menguat. Sementara itu, nilai ekspor mulai membaik secara gradual dan tumbuh positif pada Triwulan IV 2016.
Meski begitu, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2017 ini masih dibayangi berbagai risiko. Pertumbuhan ekonomi tahun 2017 diperkirakan berada di kisaran 5,0% – 5,4% dan inflasi terkendali di 4±1%.
“Risiko datang dari faktor internal dan eksternal,” sebut Bambang, “Faktor eksternal, tentu tak lepas dari arah kebijakan Presiden Amerika Donald Trump dan proyeksi naiknya suku bunga lanjutan The Fed,” tambahnya.
Ditambahkan, Indonesia juga patut mencermati risiko dari sisi eksternal lainnya, antara lain pertumbuhan ekonomi Tiongkok hingga India. “Meningkatnya penjualan eceran di Tiongkok mengindikasikan perkembangan konsumsi yang juga sejalan dengan membaiknya indikator tenaga kerja,” sambungnya.
Sementara itu, perkembangan ekonomi domestik masih sangat bergantung pada tren internasional. Itu karena Indonesia masih mengandalkan komoditas ekspor sebagai penggerak perekonomian.
Risiko dari dalam negeri bisa datang dari kebijakan lanjutan reformasi energi pemerintah, yang berujung pada perubahan harga komoditas dari sisi administered price.
“Perkiraan membaiknya ekonomi Indonesia yang dipengaruhi oleh harga minyak tahun 2017, diperkirakan lebih tinggi ketimbang sebelumnya. Perkiraan peningkatan ini didorong oleh realisasi harga minyak pada Desember 2016,” lanjut pria berkacamata ini.
KEBIJAKAN BI SAAT INI
Di akhir sesi dirinya sebagai pembicara, Bambang mengungkapkan, keputusan Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 18-19 Januari 2017 lalu, yakni BI mempertahankan BI 7-Day Repo Rate sebesar 4,75%, dengan suku bunga Deposit Facility di level 4,00% dan Lending Facility senilai 5,50%.
Kebijakan RDG tersebut juga melingkupi 5 poin sasaran BI, yakni :
1. Kebijakan konsisten untuk optimalisasi pemulihan ekonomi domestik serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan di tengah ketidakpastian pasar keuangan global.
2. Kinerja relatif baik selama 2016, prospek ekonomi nasional diperkirakan tetap membaik.
3. Mewaspadai risiko di 2017, baik dari sisi global maupun dari dalam negeri.
4. Membaurkan kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran guna menyeimbangkan stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.
5. Memperkuat koordinasi kebijakan dengan Pemerintah untuk mengelola likuiditas, menjaga inflasi pada sasaran, dan reformasi struktural.
Meski demikian, bukan berarti ke depannya BI tidak menghadapi tantangan lainnya. Tantangan utama BI dari kebijakan RDG tersebut yakni mengelola trilema kebijakan: pengelolaan arus modal, stabilisasi rupiah dan bauran kebijakan moneter dan makroprudensial.
Bambang menuturkan, secara teori, ketiga hal di atas tidak mungkin tiga-tiganya bisa diatasi. Harus salah satu atau maksimal salah duanya yang bisa dijaga. Jadi, BI mengeluarkan bauran kebijakan, yaitu: kebijakan suku bunga konsisten dengan tujuan inflasi, memperkuat operasi kebijakan moneter untuk meningkatkan transmisi kebijikan moneter, menjaga nilai tukar Rupiah konsisten sesuai dengan fundamentalnya, kebijakan makroprudensial untuk mendukung stabilitas keuangan dan mekanisme transmisi kebijakan dan memperkuat pendalaman pasar uang.
Diuraikan, menjaga nilai tukar Rupiah ini konsisten dengan fundamentalnya. Maksudnya jadi BI tidak menjaga di level tertentu, melainkan dengan melihat volatilitasnya. “Karena tadi kita gak mungkin menjaga semuanya dalam suatu level tertentu. Jadi, harus ada satu yang kita biarkan pada mekanisme pasar yang bekerja,” jelasnya. (*)