Lifestyle

Tak Harus Mahal, Ini Tips Makanan Diet Enak dan Murah

Mengonsumsi makanan sehat dan bergizi tentu berdampak membuat tubuh lebih sehat dan fit. Namun, sebagian orang memilih mengategorikan makanan sehat ini menjadi diet food atau makanan diet untuk mencapai berat badan tertentu.

Untuk orang yang sedang ingin mencapai berat badan tertentu tapi tengah menjalani rutinitas pekerjaan yang padat, biasanya tidak sempat memasak makanan sendiri dan cenderung membeli makanan diet.

Dalam keseharian, beberapa agen penyedia makanan diet membanderol satu porsi makanan diet dengan harga yang cukup mahal. Bahkan, jika dirunut, harga makanan diet lebih mahal daripada makanan non-diet.

Dokter ahli nutrisi, dr Tan Shot Yen mengungkapkan bahwa tingginya harga makanan diet dimungkinkan karena menggunakan label berbahan organik.

“Mungkin karena pakai label organik-organikan kali. Selain itu, untuk kateringnya menyewa jasa dietisien (tenaga gizi yang dapat menjalankan praktik pelayanan gizi secara mandiri),” ujar Tan saat dihubungi Kompas.com pada Rabu (14/8/2019).

Menurut Tan, beberapa makanan diet bisa juga digoreng menggunakan minyak zaitun, sehingga harga untuk satu porsinya menjadi lebih mahal dari makanan lainnya.

Menerapkan proporsi makanan dengan Isi Piringku

Selain itu, menanggapi maraknya makanan diet di masyarakat, Tan lebih menyarankan agar masyarakat menerapkan proporsi makanan sehat, lengkap, dan seimbang berdasarkan prinsip “Isi Piringku”.

Isi Piringku merupakan salah satu panduan makan sehat yang bisa digunakan sebagai acuan sajian sekali makan.

Panduan tersebut meliputi, dalam satu piring makan terdapat lauk-pauk, buah-buahan, sayuran, dan makanan pokok yang bisa dikonsumsi masyarakat yang ingin menjaga berat badan yang sehat.

“Lauk bisa bikin sup, soto, pepes, garang asem, pesmol, pangek, atau bakaran (menggunakan bungkus daun). Untuk karbo, pilihlah yang bukan rafinasi, misalnya nasi putih, tepung-tepungan,” ujar Tan.

Sementara untuk proporsi sayur, Tan menyarankan agar memilih menu lalapan, bening bayam atau pucuk labu, capcay kuah, sayur asam, karedok, asinan betawi, dan lainnya.

Sementara untuk proporsi sayur, Tan menyarankan agar memilih menu lalapan, bening bayam atau pucuk labu, capcay kuah, sayur asam, karedok, asinan betawi, dan lainnya.

Tidak ketinggalan, disajikan juga buah-buahan dalam porsi makanan sehat.

“Buah dimakan dalam bentuk aslinya, buah potong. Bukan dalam bentuk jus, karena jumlah fitokimia yang ditemukan dalam jus terlalu rendah untuk memiliki efek yang menguntungkan bagi tubuh,” ujar dr Tan.

Selain itu, untuk menu makanan pokok bisa diisi dengan segala jenis beras, ubi segala warna, singkong, kentang, talas, jagung, gembili, jagung, dan lainnya.

“Bahan-bahan dari menu Isi Piringku lebih murah dan cuma modal dikukus saja. Justru karena makan yang ngaco-ngaco, akhirnya kita terjebak dengan makanan diet dari orang asing, mahal pula,” ujar Tan.

Adapun dengan mengikuti proporsi menu makanan Isi Piringku, tidak hanya lebih murah, bisa digunakan buat bekal dan menghindari pengeluaran keuangan lainnya.

Menyiasati menu diet yang mahal

Kemudian, apabila ada seseorang yang menginginkan tetap menjaga berat badan sehat dengan mengurangi bahan yang dianggap mampu menaikkan berat badan, Tan mengatakan bahwa hal tersebut harus dipahami dari segi bahan makanan.

Misalnya, salah seorang ahli gizi menggunakan trik seperti makan sayur yang tidak bersantan dan ayam yang telah dibuang kulitnya di restoran masakan Padang, guna menjaga berat badan yang sehat.

“Bisa saja, prinsipnya harus paham soal lemak jenuh. Santan bukan tidak boleh dikonsumsi, namun akibat dari santan itu jika dikonsumsi terlalu sering,” ujar Tan.

Alternatifnya bisa dengan menjadwal menu makanan yang berbahan santan, seperti boleh dikonsumsi seminggu sekali.

Tidak hanya itu, dibutuhkan juga kesadaran masyarakat agar mau masak sendiri dengan menu makanan berdasarkan prinsip Isi Piringku.

Menurut Tan, orang-orang yang lebih teredukasi dan melek literasi akhirnya bisa memahami jurnal kesehatannya sebagai pembelajaran.

Bahkan, pembelajaran berkelanjutan sebagai pola asuh diri, di mana pola asuh ini memiliki nilai komitmennya sudah menjadi kebiasaan.

Source : https://sains.kompas.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button
.