Usia yang Ideal untuk Menikah
Saya lahir dan besar di Cirebon. Waktu saya masih duduk di bangku kelas 4 SD, saya teringat betul candaan teman-teman mengenai apa rencana mereka setelah menyelesaikan pendidikan SD. Beberapa teman menjawab rencananya adalah menikah. Ketika jawaban tersebut didengar guru, sang guru pun hanya terkekeh mendengar jawaban anak-anak kecil tersebut, tidak berkomentar atau menanggapi.
Belakangan saya baru tahu bahwa Cirebon merupakan salah satu daerah yang memiliki tingkat pernikahan dini dan perceraian paling tinggi di Indonesia. Perekonomian yang sulit, siklus panen dan budaya turut mempengaruhi preferensi orang dalam menikah.
Buat saya yang saat itu masih duduk di bangku SD, menikah di usia belasan tahun adalah wajar. Beberapa orang yang saya kenal pun menikah tidak lama setelah lulus SD atau setelah lulus SMP. Suatu ketika hal ini saya tanyakan kepada orang tua saya, kapan sebaiknya saya menikah.
Orangtua saya menjawab berdasarkan data empiris yang tidak bisa saya bantah. Ibu saya menikah di umur 25 tahun dan bapak saat itu berumur 28 tahun. Ibu saya lulusan SMEA dan bapak saya lulusan STM. Alasan ibu dan bapak menikah pada usia tersebut, karena untuk menikah diperlukan kemapanan. Harus ada rumah dan pekerjaan.
Argumentasi yang disampaikan oleh ibu saya itu sangat kuat, tidak terbantahkan dan sangat saya yakini selama bertahun-tahun. Bahwa prasyarat menikah adalah kemapanan secara ekonomi. Argumentasi ini baru saya rasakan kontradiksinya ketika saya mulai masuk ke bangku kuliah.
Di bangku kuliah, saya berhitung, jikalau saya lulus umur 22 tahun, maka saya masih harus membiayai kuliah adik saya hingga dia lulus 4 tahun lagi. Artinya, minimal di usia 26 tahun saya baru bisa menikah. Bila hal tersebut dilanjutkan dengan persiapan untuk biaya mencicil rumah, paling tidak saya baru bisa menikah pada umur 30 tahun.
Angka ideal yang diajukan ibu saya ini menjadi semakin tidak ideal. Sebab, persoalan yang hadir bukan sekedar faktor ekonomi -hal yang selalu ibu saya agung-agungkan. Masalah lain adalah ketersediaan lawan jenis yang bersedia dinikahi.
Dengan faktor ekonomi dan faktor ketersediaan, maka usia menikah ideal menjadi semakin tidak ideal. Konsep lembaga pernikahan yang merupakan solusi dari kegalauan masa muda menjadi mentah. Bagaimana mungkin pernikahan bisa menjadi solusi bila dua prasyarat utamanya saja hampir mustahil untuk diraih.
Namun, bukan manusia namanya bila tidak bisa menemukan sebuah perspektif baru dalam menyelesaikan permasalahan kompleks seperti ini. Inovasi datang dari berbagai pintu.
Salah satunya melalui sinetron Pernikahan Dini yang diperankan Agnes monica dan Sahrul Gunawan di tahun 2001, yang seakan membenarkan bahwa pernikahan yang ideal bisa dibangun tanpa kemapanan ekonomi, di usia sedini mungkin.
Juga ide mengenai konsep taaruf di kampus-kampus yang menyodorkan argumentasi: justru kemapanan ekonomi bisa dibangun dengan cara menikah dini.
Baik taaruf maupun sinetron mampu mempengaruhi alam bawah sadar banyak mahasiswa untuk berspekulasi melalui lembaga pernikahan. Akhirnya, target menikah yang tadinya di angka 28 tahun pun bisa dipangkas menjadi 22 tahun. Jadi, target utama setelah lulus kuliah: bekerja satu-dua tahun, kemudian menikah.
Nilai nilai yang mendorong menikah di umur 28 tahun dipandang menjadi nilai tradisional, sementara nilai yang dipandang maju adalah mereka yang menikah pada usia yang muda, di bawah 25 tahun.
Menikah sebagai sebuah cita-cita memang merupakan solusi yang brilian. Menurut data statistik dari BPS tahun 2010 rata-rata usia menikah di Indonesia adalah 22.3 tahun untuk perempuan dan 25.7 tahun untuk lelaki. Artinya, keinginan untuk cepat menikah merupakan keinginan semua pemuda bangsa ini.
Kalau angkanya dinaikkan menjadi berapa usia ideal untuk menikah pun masih tergolong dini, 25 tahun untuk perempuan dan 28 tahun untuk lelaki. Artinya, pernikahan sebagai sebuah cita-cita kondisi damai, penuh ketenangan hidup dan ekonomi yang lebih baik merupakan perspektif yang banyak diyakini anak muda Indonesia.
Sayangnya, dampak dari perspektif menikah dini ini belum dipahami betul oleh banyak orang. Saya sendiri menjumpai beberapa kondisi di mana orang memandang bahwa lelaki yang sudah menikah dianggap lebih mapan dan matang dalam membuat keputusan. Padahal, tidak ada hubungannya.
Bila jatuh cinta seringkali dianggap sebagai hal yang tidak logis, irrasional, tapi tidak dengan menikah. Menikah adalah institusi. Sebuah fungsi ekonomi. Sebuah lembaga yang riil. Nyata. Bukan gaib.
Mengajarkan mahasiswa mengenai kapan usia menikah yang ideal sudah terlambat rasanya. Kapan usia ideal menikah sebenarnya sudah dicontohkan oleh orang tua kita terdahulu. Tradisi yang baik inilah yang mesti dipertahankan.
Suatu ketika, anak perempuan saya yang berusia 8 tahun berkata pada adiknya yang berumur 4 tahun:
“You know, my math teacher said that I can not get married before 29 years old.”
Di kesempatan yang lain dia juga berkata: “Today is 29 February 2016, it is Leap Day, according to Irish tradition, today is the only day that a women can propose to marry a man, if she is 29 years old.”
Entah bagaimana cara dia mengingatnya, tapi di banyak kesempatan anak saya selalu berkata: “My violin teacher is not yet married, she is maybe just 27 years old, you know women can not marry before 29 years old.”
Di Inggris, menurut data statistik, usia rata-rata perempuan menikah adalah 29 tahun dan usia laki-laki menikah adalah 33 tahun. Sayangnya saya tidak punya argumen sekuat ibu saya terdahulu, saya menikah pada usia 24 tahun dan istri saya pada usia 22 tahun. Saya hanya berdoa agar anak saya selalu mengingat usia ideal menikah sebagaimana dulu saya mengingatnya sebagai sebuah institusi yang rasional.
Source : Qureta.com (Anjar Priandoyo)