Jagocetak.id: Media dan Bisnis Harus Menghormati Nilai – Belajar dari Kasus Trans7 & Pesantren
Gelombang boikot terhadap Trans7 yang viral di media sosial menjadi pelajaran penting bagi pelaku media dan bisnis: sensitivitas terhadap nilai-nilai agama dan budaya masyarakat bukanlah hal yang bisa diabaikan.

GODISCOVER.CO.ID – Baru-baru ini, jagat media sosial dihebohkan oleh seruan boikot yang mengarah pada stasiun televisi Trans7. Gerakan yang bermula dari platform X (sebelumnya Twitter) ini dengan cepat memicu perbincangan hangat di berbagai kalangan, terutama masyarakat Muslim. Akar kemarahan publik ini berhubungan langsung dengan rasa hormat terhadap nilai-nilai keagamaan, khususnya yang terkait dengan kehidupan pesantren.
Insiden ini bermula dari sebuah konten yang dianggap sebagian masyarakat telah menyinggung atau merepresentasikan nilai-nilai pesantren dengan cara yang tidak tepat. Dalam waktu singkat, tagar boikot pun trending, didorong oleh rasa solidaritas dan pembelaan terhadap institusi pendidikan agama yang dihormati itu. Kejadian ini menunjukkan betapa cepatnya sebuah isu dapat memantik reaksi kolektif ketika menyentuh ranah keyakinan dan identitas budaya.
Kasus Trans7 ini menjadi studi kasus yang berharga bagi semua pelaku industri media dan kreatif. Ia mengajarkan bahwa dalam menciptakan konten, baik untuk hiburan maupun berita, pemahaman yang mendalam tentang sensitivitas budaya dan agama masyarakat adalah sebuah keharusan.
Pesantren, sebagai salah satu lembaga pendidikan tertua dan paling dihormati di Indonesia, memiliki nilai-nilai, simbol, dan tata krama yang khas. Representasi yang dianggap terlalu ringan, tidak akurat, atau bahkan mendekati bentuk stereotip negatif, berisiko besar melukai hati umat dan dinilai tidak menghormati kearifan lokal. Dalam era di mana audiens sangat aktif dan vokal, kesalahan dalam hal ini bisa berakibat fatal pada reputasi dan kepercayaan brand.
Bagi Jagocetak.id dan pelaku bisnis pada umumnya, peristiwa ini menguatkan sebuah prinsip dasar: kepercayaan konsumen adalah aset yang paling berharga dan paling sulit dibangun. Sebuah brand tidak hanya menjual produk atau jasa, tetapi juga nilai-nilai yang dipegangnya.
Ketika sebuah perusahaan dianggap abai atau tidak menghormati nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh pasar utamanya, maka ikatan kepercayaan itu dapat terputus. Boikot adalah bentuk nyata dari retaknya ikatan tersebut. Oleh karena itu, integrasi pemahaman sosial-budaya ke dalam strategi komunikasi, pemasaran, dan produksi konten bukan lagi sekadar “nilai tambah”, melainkan sebuah “strategi inti” untuk keberlangsungan bisnis.
Dari kasus ini, kita dapat mengambil jalan keluar yang konstruktif. Kolaborasi dan dialog antara pelaku media/bisnis dengan pemangku kepentingan, seperti tokoh agama, komunitas, dan lembaga seperti pesantren, menjadi sangat krusial. Konsultasi dan riset yang mendalam sebelum meluncurkan kampanye atau konten yang menyentuh ranah sensitif dapat mencegah kesalahpahaman dan potensi krisis.
Dengan belajar dari insiden ini, diharapkan baik media seperti Trans7 maupun pelaku bisnis dapat lebih cermat dan bijaksana. Tujuannya adalah untuk menciptakan ekosistem media dan bisnis yang tidak hanya kreatif dan kompetitif, tetapi juga penuh empati dan penghormatan terhadap landasan nilai-nilai masyarakat Indonesia.